EXTRA PART 2

6.3K 271 9
                                    

HAPPY READING❤

⏳⏳⏳

Nadia duduk dibalkon kamarnya dengan mata yang lurus menatap ke arah depan. Sejak dia mengetahui jika Devon sudah tiada, dunianya seakan hancur. Kematian Devon terlalu mendadak bagi Nadia. Berhari-hari dia tak bertukar kabar dengan Devon, dan tiba-tiba saja Arka dan Rano memberitahukannya jika Devon sudah tidak ada karena kanker paru-paru yang di deritanya. Nadia tentu saja tak percaya dengan hal itu, dia menganggap jika yang Arka dan Rano katakan padanya hanyalah sebuah omong kosong. Namun, Nadia kembali mengingat saat dia seringkali melihat wajah pucat Devon dan melihat Devon yang terkadang merasa kesakitan.

Nadia menatap sebuah kertas yang ada di tangannya, itu adalah surat yang dititipkan Devon pada Arka untuknya. Berkali-kali Nadia membaca surat itu, berkali-kali pula dia merasa jika kematian Devon adalah sebuah mimpi buruk. Dia berharap jika Devon masih berada disini bersamanya. Nadia membuka surat itu dengan pelan, kembali membacanya yang entah sudah yang keberapa kalinya dia membaca surat itu.

Untuk Nadia, cinta pertama dan terakhirku.

Air mata Nadia jatuh begitu saja saat baru saja membaca kalimat itu. Sesak itu kembali datang menggerogoti hatinya lagi dan lagi. Dia merasa bahagia jika dia adalah cinta pertama dan terakhir bagi Devon. Nadia terlihat menghela nafas panjang, lalu kembali membaca surat itu.

Hai Nadia, aku menulis surat ini dalam keadaan sudah sekarat, bahkan buat bernafas aja aku merasa kesulitan. Haha lemah kan? Aku nggak sekuat seperti apa yang orang-orang katakan tentang aku diluar sana dan mungkin kamu juga mengatakan hal yang sama seperti mereka. Aku nggak sekuat itu, kalian salah menilai aku. Nyatanya aku nggak lebih dari seorang laki-laki penyakitan yang butuh belas kasihan dari orang lain. Aku harap kamu nggak menyesal punya pacar yang lemah dan penyakitan seperti aku.

Salah satu tangan Nadia terangkat, mengusap air mata yang terus mengalir membasahi kedua pipinya setelah membaca kalimat itu. Demi apapun, dia tidak pernah menyesal sedikitpun mempunyai kekasih seperti Devon. Menurutnya Devon tidak lemah, tapi kekasihnya itu adalah seseorang yang sangatlah kuat.

Aku ingat saat kita pertama kali bertemu di Koridor waktu itu. Kamu yang berjalan tidak memperhatikan jalan dan akhirnya menabrak aku. Aku yang pada dasarnya pemarah, entah kenapa aku nggak bisa marah waktu kamu nggak sengaja nabrak aku. Sebaliknya, aku justru malah jatuh cinta sama kamu untuk yang pertama kalinya. Ya, kamu cinta pertamaku.

Jelas Nadia mengingat hal itu, kejadian dimana dia tak sengaja menabrak Devon di Koridor. Dia juga mengingat bagaimana tatapan mata tajam milik Devon itu menatapnya, untuk yang pertama kalinya.

Nadia, aku minta maaf karena menyembunyikan penyakit aku dari kamu, aku cuma nggak mau kalo kamu sedih karena kondisi aku. Selain itu, aku sama sekali nggak pengen dinilai lemah oleh orang lain sekalipun itu kamu. Beberapa kali saat kita sedang berdua, beberapa kali juga kamu bertanya 'kenapa wajahku pucat?' dan ya saat itu penyakitku sedang berulah. Aku mengatakan baik-baik saja karena aku nggak mau kamu terlalu mengkhawatirkan aku Nadia.

Tapi mungkin sebentar lagi aku nggak akan merasakan rasa sakit itu lagi. Sebentar lagi aku akan bebas dari sakit itu, aku menyerah Nadia. Maaf, maafin aku karena lebih memilih menyerah dari pada berjuang. Aku sudah terlanjur lelah dengan semuanya, yang aku inginkan sekarang hanya tidur dengan tenang. Sekali lagi maafkan aku.

Nadia menghela nafasnya saat dadanya terasa sangat sesak membaca rangkaian kalimat yang ditulis oleh Devon dikertas itu.

Ikhlaskan aku, jangan terlalu larut dalam kesedihan kalo aku udah nggak ada nanti. Aku sama sekali nggak suka kalo ada orang yang yang aku sayang menangis, apalagi itu karena aku. Aku membencinya. Aku berharap kamu bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari aku. Walaupun aku udah nggak ada nanti, jangan lupain aku ya. Aku berharap kamu bisa mengunjungi makamku nanti. Kamu, cinta pertama dan terakhirku.

Nadia meletakkan surat itu ke samping dia duduk saat dia telah selesai membaca surat dari Devon. Tangannya terangkat mengusap air mata yang masih terus membasahi kedua pipinya.

"Aku masih berharap kalo kematian kakak itu cuma mimpi buruk aku, bilang ke aku kak kalo ini semua hanya mimpi. Maaf, aku masih belum bisa mengikhlaskan kakak." Ucap Nadia, kini dadanya terasa sangat sesak. Ternyata ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintai itu rasanya sesakit ini. Sebelumnya Nadia sama sekali tidak pernah membayangkannya.

Tanpa Nadia sadari, ada seseorang yang memperhatikannya saat dia membaca surat dari Devon. Dia adalah Radit, sebelumnya Radit ke kamar Nadia ingin meminjam flashdisk, namun dia malah melihat Nadia yang duduk dibalkon dan sedang menangis sesenggukan. Radit tahu, alasan Nadia menangis adalah Devon. Semenjak Nadia tahu tentang kematian Devon, adiknya itu jadi sering melamun dan menyendiri. Radit tahu, Nadia belum bisa mengikhlaskan kepergian Devon, terlebih lagi Nadia sangat mencintai lelaki itu. Hal itu pasti membuat Nadia sangat sulit untuk melupakan Devon.

"Nad." Panggilan dari Radit tersebut tentu saja membuat Nadia terkejut. Dengan cepat, Nadia membersihkan sisa-sisa air mata yang masih ada di pipinya. Nadia mendongakkan kepalanya dan mendapati Radit yang berdiri disamping tempat dia duduk.

"Kamu kenapa nangis? Devon lagi?" Tanya Radit berjalan mendekati Nadia kemudian duduk dikursi yang ada dibalkon bersama dengan adik perempuan nya itu.
"Kakak tau ini pasti berat buat kamu, tapi kamu harus ikhlasin Devon, Nad. Biarkan dia tenang disana, kita cuma perlu do'ain dia dari sini. Jangan terlalu larut dalam kesedihan, kasihan Devon kalo kamu masih belum ikhlasin dia." Nasehat Radit.

"Aku butuh waktu buat ikhlasin kak Devon, kak." Ujar Nadia, air matanya kembali turun untuk yang kesekian kalinya.
"Iya, kakak tau kamu butuh waktu. Mengikhlaskan seseorang yang kita cintai emang nggak mudah. Apalagi kalo orang itu udah nggak ada, udah nggak bisa lagi kita gapai." Ujar Radit, salah satu tangannya terangkat mengelus rambut adik satu-satunya itu. Dia sedih, melihat Nadia seperti sekarang.

⏳⏳⏳

Di sisi lain, Veni kini sedang duduk di kamarnya dengan tangan memegang sebuah bingkai foto berukuran sedang. Wanita paruh baya itu terlihat menangis dengan mata menatap foto yang ada di tangannya. Itu adalah foto mendiang Devon sewaktu dia masih kecil.

Sudah satu bulan lamanya sejak kepergian Devon, Veni masih belum bisa mengikhlaskan putranya itu. Rasa bersalah atas perbuatan yang dia lakukan pada Devon dulu masih terus menggerogoti hatinya, membuat rasa bersalah itu menjadi semakin bertambah. Bayang-bayang saat dia menyindir, mencaci ataupun membentak Devon masih terus berputar di kepalanya. Setiap hari Veni selalu memandangi foto Devon dan tak hentinya permintaan maaf selalu terucap dari kedua belah bibir wanita paruh baya itu.

"Kenapa kamu pergi secepat ini Dev? Bahkan Mama belum sempat menebus semua kesalahan yang Mama buat sama kamu dulu." Tangan Veni terangkat mengusap pelan foto Devon yang di pegangnya.

Maafin Mama, Dev. Mama selalu kasar sama kamu, Mama sering membentak kamu dan nggak pernah jadi Ibu yang baik buat kamu." Air mata terus mengalir membasahi kedua pipi Veni dengan derasnya. Dia menyesal, bahkan sangat menyesal karena telah memperlakukan Devon dengan sangat tidak baik dulu. Tetapi, sekarang semuanya sudah sangat terlambat, dia sudah kehilangan putranya. Dia tidak bisa menebus semua kesalahan yang telah dia perbuat dulu. Waktu tidak bisa diputar kembali, dan putranya tidak akan pernah bisa kembali lagi padanya. Ya, dia sekarang sudah sangat terlambat.

⏳⏳⏳

Masih ada pembaca setia Devon ga?
Tadinya bingung mau publish part ini di wattpad apa ga, tapi setelah dipikir publish aja deh ya.

Maaf banget extra part 2 ini cuma kek gini doang yg mungkin jauh dari ekspektasi kalian

Oh ya aku ada cerita baru, silahkan dicek aja. Kalo minat bisa kalian baca dan jangan lupa kasih vote sama komen

See you...

⏳⏳⏳

Devon [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang