Pada kenyataannya kita berdua hanyalah kenangan yang akan selalu terkenang bukan menang.
°°°
Dan setelah tiga tahun yang kami lalui. Aku sadar jika mencintai itu tidak seenak ketika diposisi dicintai atau saling mencintai.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Diantara atmanya yang baswara
°°°
Namanya Arandio Agueallan. Aku sering menyebutnya dengan Mas Aran. Dia jarang bicara tapi aku tetap menyukainya. Dia tampan dengan sorotan mata tajam yang pertama kali membiusku untuk turut jatuh cinta atas pesonanya.
Aku mengenalnya tiga tahun lalu sebagai pembimbing dalam masa magangku saat kuliah dulu.
Jika disandingkan dengannya yang mapan luar biasa, aku hanyalah secuil upik abu pada karirnya yang cemerlang.
Sekarang aku tengah berada di hadapannya dengan kebiasaan yang sama. Makan siang bersama--oh ralat, atau lebih tepatnya menemani dia makan.
Aku tak pernah tahu, kalau ternyata jatuh cinta itu gila, sekaligus luka. Dan aku menyesal telah jatuh cinta pada Aran. Pria yang di mataku selalu terlihat sempurna tanpa celah. Yang membuatku selalu membisu tiap kali ia bicara soal konspirasi dunia.
Ah mungkin berlebihan, tapi intinya aku dan dia berbeda. Dia Aran si pria sempurna. Dan aku Afgia si wanita buta. Buta atas pesonanya, buta atas sikapnya, dan buta atas cinta. Bukan cinta dari Aran, tapi cintaku sendiri yang terlalu berlebihan mengagumi Aran yang tak pernah mengerti atas cintanya sendiri.
Sekalipun ia makan dengan banyak noda di sekitar bibirnya, di mataku dia tetap sesempurna itu. Tapi mustahil jika itu terjadi, Arandio itu teramat perfectionist, dan sudah jelas tak mungkin membiarkan wajah rupawan miliknya ternodai.
"Kamu pulang?" itu pertanyaan basa-basinya.
Aku mengangguk. Hendak berdiri, tapi ia malah terlihat bingung. Menurunkan tissue yang tadi ia gunakan untuk membersihkan noda di sekitar bibirnya seraya menatapku heran.
Ah aku masih susah memahaminya. Andai dia Dio, adikku. Mungkin tidak akan sesulit ini memahami dua kata darinya.
Aku kembali duduk seraya mengusap rambutku ke belakang telinga, terlalu malu susah memahaminya setelah dia kembali mengatakan, "Maksudku pulang ke rumahmu, so bukan apartemen." ralatnya. Dan aku paham sekarang.
"Nanti sore Mas."
"Sama Bayu?" lanjutnya.
"Bayu sibuk Mas, katanya lembur sampe malem."
"Lalu?"
"Sama Andan. Tadi subuh dia nge-chat nanyain mau pulang gak."
Aran kembali menggangguk. Dan aku hanya bisa tersenyum memaklumi. Seharusnya aku tidak perlu berharap lebih atas pertanyaannya. Sejatinya itu hanya formalitas belaka.
"Ayo!" itu satu kata terakhir untuk hari ini darinya. Setelah akhirnya aku terdampar di mobil Andan.
"Kamu yakin dia cinta kamu?" Andan memang selalu bisa memprovokasiku dengan kalimatnya.