4 - Suatu Pagi di Granada

284 41 94
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

بسم الله الرحمن الرحيم

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍁🍁🍁

Kabut masih terlihat berkumpul memenuhi hampir seluruh kota Granada pagi itu. Langit yang tampak mendung, menjadikan suasana kian temaram. Meski demikian, kilau cahaya dari sang Surya perlahan menunjukkan silaunya. Membuat secercah harapan dan seutas senyum terbit dari bibirnya yang merah alami.

Angin musim dingin yang berhasil menghembuskan hawanya lewat celah gorden, berhasil menghadirkan gemetar kecil di tubuhnya. Karena kulit putihnya hanya berlapis kaos oblong putih dan sarung hitam, ia langsung merapatkan kedua tangan untuk menghilangkan rasa menggigil sesaat.

Tidak mau melewati indahnya wajah mentari pagi, ia pun segera meraih jaket kulit, kamera dan juga ponsel menuju balkon apartemen. Begitu kaki panjangnya menapaki lantai balkon yang terasa dingin, ia langsung duduk di kursi panjang sambil menghirup segarnya udara yang belum tercampur polusi.

"Asbahna wa'asbahal mulku lillah, walhamdulillah, laa syarikalah, laa ilaaha illahu wa ilaihin nusyur," ucapnya mengawali pagi sembari memejamkan mata. Dalam hati, ia mengungkapkan rasa syukur atas napas yang masih diberikan secara gratis oleh Sang Pemilik Semesta tanpa bayaran sepeser pun.

Kelopak matanya terangkat, lalu bergerak naik turun beberapa kali. Helaan napas panjang kembali terdengar melirih dari bibirnya. Sedetik kemudian, ia tersenyum akan karunia Tuhan yang dihadirkan dalam hidupnya.

Ditemani hamparan kota Granada yang masih sepi dari hiruk pikuk dunia, ia kembali menelisik betapa baiknya Allah yang sudah memberikannya izin untuk datang ke tempat ini. Melihat dan menikmati jejak para syuhada yang berjuang mati-matian menebarkan cahaya Islam di bumi yang nantinya melahirkan para pemikir dan pencipta peradaban yang gemilang. Sampai akhirnya, semua jejak itu seakan hilang tak berbekas.

Kini, angannya pun mulai berandai-andai. Jika saja beberapa ratus tahun yang lalu, Isabella dan Ferdinand memiliki pandangan yang terbuka terkait keberagaman dan keselarasan berpikir dalam beragama, mungkin cahaya-cahaya Islam masih menghiasi bumi Andalusia sekarang. Jika saja hati tidak dipenuhi oleh keegoisan dan ambisi akan kekuasaan, mungkinkah ia bisa menemukan banyak wanita berhijab yang saling bersapa dengan ucapan salam?

Ah, rupanya ia baru menyadari jika dirinya masih berada di dunia. Tempat dimana segala hal sirna dan tidak akan abadi. Semuanya pasti akan pergi dan meninggalkan kesan tersendiri dalam setiap insan ciptaan Ilahi.

"Yang lalu akan hilang, dan masa depan akan datang. Manusia hanya perlu bersiap diri untuk menyambut segala kemungkinan yang akan terjadi nanti," gumamnya kini memilih untuk membuka kamera dan mengambil setiap episode keindahan yang sebentar lagi akan tersaji.

"Cantik." Ia memuji mahakarya Tuhan yang berhasil ditangkap oleh kameranya.

"Siapa?" sahut seseorang dari belakang.

Senja & Andalusia [TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang