10 - Sebuah Mimpi

119 15 2
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

بسم الله الرحمن الرحيم

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍁🍁🍁

"Maaf, sudah menyukai kamu, Za," kata seorang laki-laki yang kini tengah menatap seorang perempuan di sebelahnya. Hembusan angin di tepi jembatan bersejarah itu membuat ujung rambutnya terkesiap. Menampilkan wajah teduh dan ketulusan mata miliknya.

Perempuan itu pun spontan menoleh setelah mendengar suara itu. Kedua alis tebalnya spontan terangkat. Menandakan ketidakpahamannya atas kalimat yang baru saja keluar dari mulut laki-laki yang selama ini ia kagumi.

"K-kenapa, Zam? Kenapa kamu menyukaiku?" tanyanya mencari kepastian.

"Apakah harus ada alasan untuk menyukai seseorang? Perasaan ini datang dengan sendirinya, Za. Saya juga tidak tahu kenapa rasa ini ada di hati saya," ungkapnya jujur. Kini, pandangan matanya sudah teralihkan pada arus sungai Guadalquivir di bawah mereka.

"Azzam," panggil perempuan itu membuat kepalanya bergerak ke samping. Ditatapnya wajah itu beberapa detik. Setelahnya, hembusan napas berat keluar begitu saja dari bibirnya.

"Hapus perasaan kamu, Zam," lanjut perempuan tadi.

"Kenapa?"

"Perasaan itu nggak seharusnya ada. Kita berbeda, Zam. Tembok kita terlalu tinggi. Rasa itu hanya akan membuat kita sakit nanti."

Laki-laki itu ikut mengembuskan napasnya panjang. Setiap kata-kata yang di dengar tadi berusaha ia cerna baik-baik agar hatinya bisa mendapat pemahaman yang semestinya.

"Kita memang berbeda, Za, tapi kenapa kita tidak mencoba menyamakannya?"

Perempuan itu menggeleng. Mungkin berusaha menolak persepsi laki-laki di depannya. "Nggak semudah itu, Zam."

"Saya akan menunggu sampai kamu siap."

Kembali, perempuan itu menggelengkan kepalanya. "Penantian itu hanya akan menyiksa kamu, Zam. Tujuan kamu untuk menjelajah sisa peradaban dan usaha kamu untuk menghidupkan cahaya itu kembali akan terhalang, bahkan mungkin terhenti. Aku nggak mau itu terjadi." Helaan napas menjadi penjeda atas kalimatnya tadi. Kemudian ia melanjutkan,

"Sudah banyak peradaban yang runtuh karena nafsu, Zam. Sudah banyak cahaya yang memendar karena egoisme. Aku tidak mau, kobaran semangat kamu untuk menciptakan peradaban dalam hidupmu akan redup karena perasaan itu. Kenyataan bahwa kita berbeda, membuat aku semakin sakit jika kamu akan terus memperjuangkannya."

"Meyza,"

"Maaf, Zam. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa mengambil kamu dari Tuhanmu, begitu juga sebaliknya."

Usai mengatakan kalimat itu, raga perempuan itu tiba-tiba bercahaya, kemudian memudar secara perlahan. Detik demi detik, cahaya itu mulai menghilang. Tak bersisa sedikit pun.

Senja & Andalusia [TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang