Bertengkar

496 26 0
                                    

"Eh, pada liat Lingga, gak?" tanya Laura pada Vigo dan Raga yang baru saja keluar dari kelas.

Jam pulang sekolah sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu, semua sudah pulang sekolah, hanya tersisa beberapa siswa-siswi yang mengikuti ekstrakulikuler yang masih di sekolah.

Laura tadi beberapa menit bel pulang berbunyi, dia langsung keluar ke sekretariat jurnalistik. Dia lama berada di sekretariat ekstrakulikuler jurnalistik untuk memberikan surat pengunduran dirinya, mengingat beberapa bulan lagi akan ujian, jadi Laura ingin memfokuskan dirinya pada bimbel dan ujiannya nanti.

"Barusan tadi keluar. Belum lama dia pergi, lo datang," jawab Raga.

Laura menghela napasnya panjang karena dia terlambat.

"Dia pasti udah pulang," ucap Laura dengan nada lemasnya.

"Dia dijemput sama supir hari ini, motornya kemarin masuk bengkel."

Seakan mendapatkan angin segar, wajah Laura yang semulanya sedih berubah menjadi senang dengan mata berbinar. Dia senang mendengar hal tersebut. Bukankah itu bisa dia jadikan kesempatan untuk mengajak Lingga ke suatu tempat? Tempat yang sekiranya bagus dan cocok untuk dia menyatakan perasaannya pada Lingga.

"Thanks, Ga."

Selepas mengucapkan terima kasih pada Raga, Laura berlari menuju depan sekolah. Dia yakin, Lingga pasti menunggu jemputan di depan pintu gerbang sekolah.

Kala Laura telah sampai di depan sekolah, cewek itu celingak-celinguk mencari keberadaan Lingga. Pada gerbang sebelah kiri sebagai pintu keluar, Laura tak menemukan keberadaan Lingga. Kalau begitu, berarti Lingga berada di pintu gerbang sebelah kanan. Pintu masuk sekolah mereka.

Laura berlari, dia juga beberapa kali menabrak siswa-siswi yang membuatnya marah besar melihatnya. Namun, Laura tak peduli, asal dia bisa bertemu Lingga dengan cepat dan menyuruh Lingga untuk membatalkan pulang dijemput sopirnya.

"Lingga!" pekik Laura saat dia melihat Lingga yang tengah sibuk bersandar seraya memainkan ponselnya di dekat pos penjagaan dengan sebelah tangannya masuk ke saku celana.

Lingga menoleh, dia mengerjap beberapa kali lantaran tak percaya Laura memanggilnya. Pasalnya, kemarin Laura sama sekali tak menegurnya, itu semua karena Laura marah pada dirinya. Cowok itu menegakkan tubuhnya, menunggu Laura menghampirinya.

"Ra?"

Cowok itu seakan tak percaya dengan keberadaan Laura. Dia pikir, Laura masih marah padanya, maka dari itu Lingga hari ini tak berani menegur Lingga sekalipun mereka duduk di meja yang sama.

"Kenapa gak bilang kalau lo gak bawa motor?" Laura langsung menodong Lingga dengan pertanyaan saat dia sudah berdiri di depan Lingga.

"Lo marah sama gue."

Laura menggeleng, dia bukan marah pada Lingga, tapi marah pada Karin.

"Pulang bareng gue, yuk!" ajak Laura.

"Gue udah telepon sopir tadi," tolak Lingga secara tak langsung.

"Batalin aja. Pulang bareng gue, yuk! Gue—"

"Kak Lingga!"

Laura tak sempat melanjutkan perkataannya karena mendengar suara yang sudah dia kenal memanggil Lingga. Kedua orang tersebut sama-sama menoleh, melihat pada Karin yang baru saja keluar dari mobil dan kini berlari menghampiri Lingga.

"Ayo!" seru Karin.

"Lingga pulang bareng gue," sergah Laura. Cewek itu menarik Lingga untuk menjauh dari Karin. Dia perlu waspada dengan cewek di depannya.

"Kak Lingga gak ngomong apa-apa tadi pas minta jemput," kata Karin dengan sinis.

"Iya, tapi sekarang Lingga pulang bareng gue."

"Tante Hani udah nungguin di rumah, ada ibu sama ayah juga di rumah nungguin Kak Lingga. Jadi, kak Lingga gak bisa pulang bareng Kak Laura," jelas Karin membuat Laura mengepalkan tangannya kesal mendengar penjelasan Karin.

Tapi Laura tak ingin emosi, dia tak ingin menunjukkan kekesalannya pada Karin. "Gue mau ngomong sama Lingga. Empat mata. Penting."

"Bisa ngomong lewat HP, 'kan? Kami harus pulang karena udah banyak yang nungguin kami."

Ok, fix. Laura sudah tak bisa lagi menahan kekesalannya. Pada akhirnya cewek itu pun mengutarakan kekesalannya pada Karin.

"Bisa gak sih lo, sehari aja gak gangguin gue sama Lingga? Hah?" sentak Laura pada Karin.

"Ra," tegur Lingga.

"Gue itu kesel liat lo. Sok manja, sok polos. Bikin gue muak liatnya," ucap Laura tak mengindahkan teguran dari Lingga.

Jelas saja, apa yang di dengar Lingga barusan membuat Lingga marah. Lingga mungkin saja tak marah kalau dihina, tapi ketika ada yang menghina keluarganya, Lingga tentu marah. Dia tak suka mendengar perkataan Laura barusan. Sekalipun Laura adalah cewek yang dia cintai, tapi kalau keluarganya yang dihina oleh Laura, dia tetap marah.

"Apa sih lo, Ra? Gak jelas banget tiba-tiba marah sama Karin. Dia itu sepupu gue, sedangkan lo bukan siapa-siapa gue."

Laura terdiam seribu bahasa mendengar perkataan Lingga, matanya berkaca-kaca mendengar perkataan Lingga. Ya, dia harusnya sadar kalau mereka bukan siapa-siapa. Kenapa juga dia terlalu berlebihan sampai marah pada sepupu Lingga?

"Oh, iya, gue lupa. Kok gue gak sadar, ya, kalau gue bukan siapa-siapa lo."

Setelahnya, Laura meninggal Lingga dan Karin. Dia menjauh, menuju parkiran motor. Kalau tahu seperti ini, harusnya dia tak usah tadi mencari Lingga. Dia malah mendapatkan sakit hati dari Lingga.

***

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Bye bye

Ayo Pacaran! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang