Berakhir

915 24 0
                                    

Di meja makan kali ini, tak ada satupun yang bersuara. Biasanya, kalau sedang ada perang dingin antar anggota keluarga, papanya Lingga yang akan menjadi penengah. Namun, papanya Lingga baru saja berangkat ke luar kota semalam.

Sejak tadi Hani terus curi-curi pandang dengan anaknya, berharap Lingga mau berbicara padanya. Karin juga hanya diam saja karena sadar kalau Lingga sedang marah padanya.

"Aku udah kenyang," ucap Lingga mencairkan suasana. Hani yang mendengar itu langsung mendongak, apalagi saat melihat anaknya bangkit dari duduknya.

"Udah mau ke sekolah?"

"Iya."

"Kalau hari ini terlambat bisa?"

Lingga seketika menoleh pada mamanya, kening cowok itu mengernyit heran.

"Maksud Mama?"

"Maafin Mama. Mama tahu seberapa besar perasaan kamu sama Laura, tapi Mama lakukan itu demi kamu, dan itu bikin Mama lupa kalau hanya Laura yang ada saat kamu kesepian," ungkap Hani.

Sejak kecil, Lingga sering ditinggal orang tuanya ke luar kota. Hani sibuk bekerja begitu juga dengan papanya Lingga, membuat Lingga kecil sering sekali dititipkan di rumah Laura yang dulu merupakan tetangga mereka. Hani melupakan fakta bahwa Laura adalah penyemangat anaknya, Laura adalah orang yang membuat hidup Lingga berseri.

"Sekarang Mama tahu, 'kan, seberapa berartinya Laura sama aku? Aku mohon izinkan aku sama Laura," balas Lingga.

"Tapi dia—"

"Aku akan tetap tunggu Laura sampai dia mau sama aku. Laura hanya bingung sama perasaannya," sanggah Lingga. Cowok itu beralih menatap Karin yang diam seraya menyantap makanannya.

"Karin, mungkin memiliki hubungan percintaan dengan sepupu emang gak masalah, tapi Kak Lingga gak mau. Kamu bisa mencintai cowok lain, yang mencintaimu kamu. Tolong jangan buat Kak Lingga merasa bersalah sama perasaan kamu."

"Maaf, Kak," cicit Karin. Cewek itu sadar, sekuat apapun dia mencoba mendekati Lingga, mencoba memonopoli Lingga, sampai kapanpun perasaan Lingga hanya untuk Laura.

"Pulang sekolah ajak Laura ke rumah," pungkas Hani membuat Lingga tersenyum kecil.

Cowok itu bukannya melanjutkan niatnya yang tadi ingin ke sekolah, malah kembali duduk dan menyantap makanan yang tak selesai dia makan.

"Loh, kok—"

"Masih lapar, Ma."

***

Dua bulan pun telah berlalu, semuanya telah membaik, Karin juga sudah kembali ke Jogja. Lingga tak menyangka kalau masalah mereka akhirnya selesai juga. Cowok itu menggenggam tangan kanan Laura erat, seolah takut terpisah, padahal keduanya saat ini tengah duduk di kantin sembari menunggu pesanan mereka.

Laura sendiri sama sekali tak merasa terganggu, bahkan cewek itu sampai memainkan jari-jari Lingga yang menggenggam tangannya dengan tangan kiri.

"Terus ... pacaran aja, terus ...." sungut Raga. "Gak tahu terima kasih, ya, lo berdua?"

Laura tertawa, dia memang lupa berterima kasih pada Raga. Karena Raga, dia dan Lingga bisa bersama.

"Apaan? Orang gak pacaran, kok," sanggah Laura. Nyatanya, dia dan Lingga memang tak menjalin hubungan, semuanya mengalir begitu saja.

Hubungan tanpa status mereka jalani walau kadang ada pertengkaran kecil. Namun, Lingga sendiri, tak ingin perasaannya digantung seperti ini, dia ingin menjalin hubungan dengan Laura.

"Eh, iya, gak pacaran, tapi lo gantungin perasaan Lingga," timpal Anggi yang baru saja datang bersama Karina.

Setelah kejadian dua bulan yang lalu, Karin meminta maaf pada Laura dan Lingga, bukan hanya Laura dan Lingga saja, tapi pada Vigo, Raga, Karina, juga Anggi.

"Udah, Ngga, tembak aja. Lo nungguin apa lagi?"

Sejujurnya, Lingga bisa saja meminta Laura menjadi pacarnya, tapi dia kembali memikirkan perasaan Laura yang mungkin saja masih bingung.

"Nih, pesanan lo berdua," sela Vigo yang baru saja datang dengan membawa nampan berisi 2 gelas jus jeruk juga 2 piring mi goreng.

Wajah Vigo terlihat kesal, keningnya bahkan sampai mengerut. Bukan hanya itu, pelipis cowok itu juga berkeringat.

"Yaelah, minta tolong doang, gak ikhlas banget lo," protes Lingga.

"Ya kali, gue ikhlas, sedangkan lo berdua malah mesra-mesraan di sini. Tahu kayak gini, gak bakal gue dukung, ujung-ujungnya gue yang menderita," keluh Vigo membuat teman-temannya itu serempak tertawa.

"Ayo, Ra, makan dulu. Atau mau gue suapin?"

"Bucin!" pekik keempat teman mereka.

***

Selepas istirahat mereka pun masuk mata pelajaran terakhir, selama pelajaran berlangsung, Laura memikirkan perkataan teman-temannya tadi di kantin.

Semua mengatakan kalau dia menggantung perasaan Lingga, menggantung hubungan keduanya. Akhir-akhir ini, keduanya lebih dekat dari sebelum-sebelumnya. Dulu yang agak cuek, sekarang jadi sangat perhatian. Dulu yang sangat jarang saling menggenggam, jadi lebih sering saling menggenggam. Dulu yang jarang saling bertukar pesan, jadi lebih sering bertukar pesan. Laura menyadari perubahan keduanya.

"Ra," panggil Lingga lembut, tetapi Laura gak merespon.

"Ra," panggil Lingga lagi.

"Ra, Laura." Panggilan ketiga, nada suara Lingga sedikit meninggi, hal itu membuat lamunan Laura buyar.

"Eh."

"Kenapa sih, lo?"

"Yang lain mana?" tanya Laura.

"Udah bel pulang 5 menit yang lalu," jawab Lingga.

Saking memikirkan perkataan teman-temannya, Laura sampai tak sadar kalau bel pulang telah berbunyi.

"Ayo, buku-buku lo udah gue rapiin semua. Udah di dalam tas, tuh," ucap Lingga menunjuk pada tas Laura yang ada di meja cewek itu.

Sedangkan Laura, tak percaya, saking sibuknya dengan pikirannya sendiri, dia sampai tak sadar Lingga telah merapikan bukunya dan disimpan di tasnya.

Lingga berjalan lebih dulu keluar kelas, tapi dia menunggu Laura di depan kelas. Namun Laura, masih tetap diam.

"Ra, kenapa?" tanya Lingga heran melihat Laura yang lagi-lagi diam.

"Ayo," ajak Lingga.

Laura pun bangkit memasang tasnya, kemudian mulai melangkah. Baru dua langkah, dia berhenti, menatap Lingga yang kini mengernyit heran.

"Ra, kena—"

Perkataan Lingga terhenti saat mendengar ajakan Laura yang tak biasa.

"Ayo pacaran!"

"Hah?"

"Ayo pacaran, Ngga," ulang Laura.

"Lo kesambet apa?"

"Jadi lo gak mau?"

"Mau," jawab Lingga cepat. Mana mungkin dia tak mau berpacaran dengan Laura, itu adalah keinginannya sejak lama.

Lingga melangkah, kembali masuk ke kelas untuk menghampiri Laura. "Tapi, serius, Ra?"

Laura mengangguk, lalu tersenyum sebagai jawaban.

"Kenapa?"

Bukannya menjawab pertanyaan Lingga, Laura malah berkata, "I love you."

"I love you, Lingga."

Lingga tersenyum lebar, dia langsung menarik Laura ke dalam pelukannya, kemudian berbisik di telinga Laura dengan mesra.

"I love you too."

Perjuangan Lingga bukan hanya sampai di sini, masih ada banyak hal yang harus dia hadapi untuk menjaga hubungannya dan Laura agar baik-baik saja. Lingga perlu mempersiapkan diri.

***

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Btw, masih ada epilog.

Bye bye

Ayo Pacaran! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang