Berbicara Empat Mata

549 23 0
                                    

Lingga tak menemukan keberadaan Laura kala dia mengejar cewek itu. Ternyata Laura perginya cepat juga, Lingga sampai tak bisa mengejarnya. Alhasil Lingga kembali ke lapangan dengan perasaan cemas.

Sebenarnya selama dia dan Laura jauhan, banyak hal yang dipikirkan Lingga, banyak hal yang membuatnya terus bertanya-tanya. Apa yang membuat Laura begitu marah besar padanya bahkan sampai ragu akan perasaannya? Kenapa Laura terlihat tak menyukai Karin?

Ketika Lingga telah sampai di lapangan, Lingga langsung mengambil tasnya dan meninggalkan lapangan. Namun, belum juga cowok itu keluar dari area lapangan, Karin menahan Lingga, membuat Lingga mengurungkan niat seraya menggeram kesal.

"Bisa gak, sih, kamu gak ganggu dulu?" sentak Lingga membuat Karin langsung terlonjak kaget. Dia belum pernah mendengar dan melihat Lingga memarahinya secara langsung.

"Seandainya kamu gak datang ikut jemput Kak Lingga, Kakak sama Laura gak akan kenapa-kenapa," lanjut Lingga.

"Lingga, kenapa kayak gitu?" tegur Hani membuat Lingga menghembuskan napasnya kasar. Cowok itu menatap mamanya.

"Aku ke rumah Laura," pamit Lingga.

"Ada Karin di sini, dia datang itu mau ketemu."

"Ma, untuk sekarang Lingga gak bisa turutin kemauan Mama. Selama Karin di Jakarta, waktu Lingga sama Laura berkurang," ungkap Lingga.

Selama dia mau menemani Karin jalan-jalan, itu semua atas permintaan mamanya, jadinya cowok itu mau tak mau tetap mengikuti kemauan mamanya. Karena semua itu, hubungannya dan Laura di ambang kehancuran.

"Kamu lebih milih Karin atau Laura? Laura bukan siapa-siapa kamu."

Di lapangan kali ini hanya menjadi tempat pertengkaran antara ibu dan anak, teman-teman sekolah di antara mereka berpura-pura tak melihat.

"Laura emang bukan siapa-siapa aku bagi Mama, tapi dari dulu sampai sekarang, hanya Laura yang temenin di saat aku kesepian. Bukan Mama, papa, ataupun Karin. Laura penyemangat aku, dia rumah kedua aku di saat rumah pertamaku entah ada di mana," pungkas Lingga seraya meninggalkan area lapangan, meninggal mamanya yang kini terdiam mendengar apa saja yang dikatakan Laura.

***

Lingga sudah berkali-kali menekan bel rumah Laura, tetapi sama sekali tak ada respon. Sore seperti ini, papi Laura pasti sudah pulang dari kantor, kalau mami Laura pasti sedang sibuk memasak. Lingga yakin, Laura pasti sudah di dalam, terbukti dengan motor Laura yang terparkir di depan rumah.

Lagi, Lingga menekan bel, mencoba peruntungan. Dalam hati, cowok itu berdoa, semoga saja Laura mau keluar untuk bertemu dengannya.

Tubuh Lingga langsung menegak saat melihat pintu rumah terbuka, memunculkan Lisa, adik Laura.

"Kak Lingga," pekik Lisa membuat Lingga tersenyum melihatnya.

"Lisa, di dalam ada orang?"

"Ada. Papi di kamar lagi istirahat, mami masih bersih-bersih kolam renang bareng kak Laura," jelas Lisa membuat Lingga manggut-manggut.

"Bisa panggilin kak Laura? Bilang ada Kak Lingga di depan."

Lisa mengangguk, dengan langkah kecilnya, dia berlari memasuki rumah, memanggil Laura. Lingga sebenarnya bisa saja masuk seperti biasanya apabila bertamu di rumah Laura, tapi cowok itu tak mau karena sedang tak baik-baik saja dengan Laura.

Lingga melihat layar ponselnya, waktu menunjukkan pukul setengah enam sore, dan malam sebentar lagi tiba.

"Itu, Kak."

Suara dari Lisa membuat Lingga mendongak, menatap Laura yang memasang ekspresi datarnya. Lingga tahu, Laura pasti marah.

"Ra," panggil Lingga.

"Bukannya gue udah bilang jangan ketemu sama gue sebelum gue sendiri yang hubungi lo?" tanya Laura mengingatkan Lingga perihal perkataannya malam itu.

Lingga menelan ludahnya susah payah, lalu mengangguk sebagai jawaban. Cowok itu tak mungkin lupa, tetapi dia kemari memiliki tujuan yang penting.

"Gue kemari mau selesaikan semaunya. Gue gak tahan, Ra, jauhan sama lo," ujar Lingga memelas.

Laura tertawa mengejek. Apa yang membuat Lingga tak tahan jika mereka berjauhan?

"Masih ada sepupu lo buat temenin lo. Mending pulang, gue sibuk."

Mendapatkan pengusiran dari Laura secara terang-terangan, membuat Lingga menggeleng cepat. Cowok itu maju selangkah, hingga dia bisa memegang besi dari pintu gerbang.

"Gue mau perbaiki semuanya. Gue tahu lo marah karena omongan waktu itu, makanya gue kemari mau minta maaf sama lo."

Lagi, Laura tertawa mengejek Lingga. Apa Lingga berpikir dia marah hanya karena perkataan Lingga waktu itu? Banyak hal yang membuat Laura marah dan baru bisa meledak saat Lingga berkata kalau mereka bukan siapa-siapa. Padahal hari itu Laura berencana untuk mengungkapkan perasaannya pada Lingga, seketika dia ragu dan kebingungan lagi dengan perasaannya.

"Lo masih ingat sama pertanyaan gue waktu itu? Lo sadar gak, sih, sama perasaan gue? Lo sadar gak, sih, sama perasaan orang di sekitar lo?"

Lingga terdiam, membuat Laura paham kalau Lingga tak tahu jawabannya.

"Gue tahu, lo pasti gak sadar. Sekarang gue tanya, lo sadar gak sama perasaan Karin buat lo?"

"Karin sepupu gue," kata Lingga.

"Bukan itu jawaban yang mau gue denger. Dia suka sama lo, Karin sendiri yang bilang sama gue waktu kita di kedai es krim. Dia juga bilang sama gue kalau nyokap lo gak suka sama gue, belum lagi sama sikap dan omongan lo waktu itu. Semuanya bikin gue ragu, Ngga."

"Sorry," cicit Lingga. Cowok itu menunduk sedih. Dia cukup terkejut mendengar perkataan Laura.

Memang apa yang Laura katakan benar, mamanya tak menyukai Laura. Pantas saja Laura ragu. Bukan hanya ragu pada perasaan Lingga, tapi ragu untuk melangkah ke satu tingkat lagi.

***

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Bye bye

Ayo Pacaran! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang