Part 29. Mencari tahu

82.4K 7.4K 71
                                    

Didalam mobil, suasana menjadi canggung. Sasya dan Marcell sama-sama terdiam. Sasya merutuki tindakannya itu, ia merasa malu setelah melakukan itu.

Dimobil itu hanya ada keheningan. Sasya memilih memainkan ponselnya. Marcell melirik sekilas lalu, kembali fokus menyetir.

Sasya mulai merasa tak nyaman dengan kecanggungan ini. Gadis itu berusaha bersikap biasa saja.

"Ekhem. Maaf, karena saya lancang mencium pipi bapak tadi," ucapnya melupakan sejenak rasa malunya.

"Tidak saya maafkan! Lancang sekali kamu mencium pipi saya. Kamu tahu? Kamu wanita pertama yang berani mencium pipi saya!" Seru Marcell terlihat kesal.

"Oh, ya? Saya gak percaya," ucap Sasya.

"Terserah!"

"Bapak harusnya terima kasih sama saya, karena saya sudah membantu bapak," ucap Sasya.

Marcell terdiam, memang benar yang dikatakan Sasya. Seharusnya ia berterima kasih tapi, tetap saja ia kesal karena gadis itu sudah lancang mencium pipinya. Padahal jika saat ini yang dihadapannya adalah Inez, tentu saja pria itu tidak akan mempermasalahkannya.

Marcell memang sudah menaruh hati pada Inez sejak pertama kali bertemu. Entah mengapa gadis itu terlihat berbeda dengan kebanyakan gadis yang ia temui.

"Ya, terus? Saya harus apa, supaya bapak bisa memaafkan saya," kata Sasya tak tahu harus berbuat apa, agar atasannya itu memaafkannya.

"A-apa saya harus cium bapak lagi?" Tanya Sasya terbata.

"Itu mah maunya kamu. Beruntung di kamu, rugi di saya!"

Sasya menelan salivanya, gadis itu bingung harus seperti apa.

"Ini semua gara-gara Inez, kenapa harus gue sih yang dia tunjuk buat nemenin pak Marcell," batinnya.

"Tau gini, mana mau gue," ucap Sasya dalam hati.

"Syukur-syukur, gue temenin."

Gadis itu menggerutu dalam hati.

"Yaudah, pokoknya, saya minta maaf buat tindakan saya yang tadi, bapak Marcell yang terhormat," ucap Sasya tersenyum lebar.

"Hm, kali ini saya maafin," sahut Marcell.

Akhirnya Sasya bisa bernafas lega mendengar bahwa atasannya itu sudah mau memaafkan dirinya.

Tak terasa, kini sudah sampai dirumah Sasya. Marcell mengantarkan Sasya terlebih dahulu, karena tidak baik seorang gadis malam-malam pulang seorang diri.

"Sudah sampai," ucap Marcell.

"Iya, pak. Makasih," sahut Sasya sebelum keluar dari mobil.

Sasya tidak langsung masuk, gadis itu menunggu sampai mobil Marcell melaju pergi dari area rumahnya.

Setelahnya, gadis itu masuk kedalam rumah.

Rumah berlantai dua itu nampak sepi, karena hari sudah semakin malam.

Gadis itu melirik jam tangannya, ternyata sudah pukul sepuluh malam.
Pantas saja rumahnya sudah sepi.

Sasya memutar badan setelah menutup pintu, gadis itu terlonjak kaget melihat wajah sang mama yang sedang memakai masker tepat didepan wajahnya.

"Aaaa..." Pekik Sasya.

"Berisik!" Tegur sang Mama.

Gadis itu mengelus dadanya, dirinya masih kaget.

"Lagian mama, ngapain pake masker malem-malem begini?" Protes Sasya.

"Kayak kamu gak pernah aja," seru sang Mama dengan suara yang tertahan.

Wanita paruh baya itu menatap penampilan sang anak dengan menyelidik, dari bawah sampai atas.

"Dari mana kamu? Jam segini baru pulang?" Tanyanya.

"Abis undangan sama pak bos," jawab Sasya sambil berjalan menuju sofa.

Gadis itu mendudukan dirinya di sofa.

"Bos kamu yang ganteng itu? Siapa tuh, namanya?" Tanya Mama Melda.

Wanita paruh baya itu terlihat antusias saat sang anak mengatakan bahwa jalan dengan bosnya.

Mama Melda segera melepaskan maskernya. Wanita paruh baya itu tidak bisa leluasa bertanya-tanya jika masih memakai masker.

"Marcell," jawab Sasya malas.

"Oh, iya, Marcell. Berarti kalian jalan berdua dong tadi?" Seru mama Melda mulai keluar jiwa-jiwa kepo nya.

"Hm."

Sasya mengerucutkan bibirnya, jalan dengan Marcell tidak menyenangkan, malah pria itu sangat menyebalkan, pikirnya.

"Udah dibantuin, tapi, malah dia yang marah, aneh," batinnya.

"Orang mah seneng habis pulang jalan sama cowok, lah, ini apa, muka cembetut gitu, gak ada manis-manisnya," ucap mama Melda menyindir.

Sasya menatap sang mama,"apaan sih."

"Pepet terus, Sya. Mama dukung kalau kamu sama bos kamu itu," ucap mama Melda mendukung sang anak untuk mendekati bosnya.

"Apaan sih, Ma. Siapa juga yang mau deketin pak Marcell," sahut Sasya sedikit ketus.

"Gak papa, Sya. Siapa tahu jodoh," seru seorang pria paruh baya yang tak sengaja mendengar percakapan ibu dan anak itu.

"Papa," ucap Sasya.

"Nggak usah ikut-ikutan kayak mama deh," protesnya.

Pria paruh baya itu terkekeh.

***

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Gio setelah mereka sampai dirumah.

"Hm."

Inez hanya berdehem.

Gadis itu melengos pergi masuk kedalam kamarnya. Gio menatap kepergian Inez dengan yang tak bisa diartikan.

Pria itu melanjutkan langkahnya masuk kedalam kamar.

Gio mengganti pakaiannya terlebih dahulu dengan piyama tidurnya.

Pria itu menghubungi sang asisten.

"Rendi, cari tahu tentang semua keluarga Aditama," ucapnya dengan serius.

"Bukannya itu keluarga---" ucapan Rendi terpotong karena Gio lebih dulu menyela.

"Iya, tidak usah banyak tanya."

Tut.

Pria itu menyimpan ponselnya diatas nakas.

Gio penasaran dengan keluarga Inez. Sebenarnya apa yang terjadi didalam keluarga itu, mengapa sikap nyonya Farah dan kakak-kakak Inez seperti itu, padahal Inez adik mereka sendiri, pikirnya.

"Sebenarnya, seperti apa kehidupan Inez?" Monolognya.

Gio mulai penasaran dengan kehidupan Inez sebelum menikah dengan dirinya.

Disisi Inez, gadis itu termenung di balkon kamar. Udara dingin pun tidak Inez hiraukan.

Saat ini, ia hanya butuh ketenangan.

"Kenapa tatapan Papa terlihat berbeda?" Tanyanya pada dirinya sendiri.

Aneh, satu kata yang Inez tujukan pada sang papa. Pria paruh baya itu menatap Inez dengan sorot mata kerinduan dan juga penyesalan.

Sebenarnya apa yang terjadi?

Bukankah selama ini, sang papa hanya menatap dirinya dengan raut wajah datar. Tidak pernah peduli dengan apa yang Inez lakukan dan pria itu hanya diam saat Inez yang selalu disalahkan padahal bukan kesalahannya.

Pria paruh baya itu bersikap dingin terhadap Inez. Apalagi sikap sang mama yang selalu tak pernah adil terhadap dirinya. Wanita paruh baya itu selalu saja menyalahkan Inez.

Terkadang, Inez bertanya-tanya. Apakah dirinya bukan anak kandung mereka? Mengapa perlakuannya sangat berbeda?

.
.
.





Giovanni's second wife [END/TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang