:: 13 : TROUBLEMAKER ::

517 46 1
                                    

Tapak binar sang surya bersilir-silir merendah. Melabuhkan senja menakjubkan di ufuk barat, meronai cakrawala dengan gradasi kedamaian. Corak jingganya membara, memukau sepasang aksa yang menyaksikan dengan semilir angin merayau mengiringi bahana riuh burung-burung kecil melintas.

Gemerlap pelita dan nyenyatnya suasana mendampingi lelaki yang kini tengah sibuk dengan penghapus papan tulis. Bibirnya mengerucut jemu bersaingan dengan gejolak culas. Niat hati ingin segera bertubrukan dengan tempat peraduan lenyap tergiring angin sore begitu saja saat Arianne mengutusnya piket.

Manalah hanya seorang diri di sini. Sang adik sudah bertolak lima menit yang lalu karena harus memberikan sebungkus roti tadi pagi sekaligus mengecek keadaan.

Ingin sekali ia menyalakan speaker keras-keras sembari memutar musik untuk mengenyahkan hawa senyap serta merta menemaninya dalam urusan berbenah.

Apalah makna tindakan berbenah tanpa alunan musik yang menemani. Sia-sia saja.

"Bisa nggak sih kalau ngambil buku itu di balikin ke tempat yang bener? Mentang-mentang ada tukang bersih-bersih jadi seenaknya."

Jay mulai menggerutu sembari berkacak pinggang melihat tumpukan buku acak-acakan keluar dari dalam rak. Sebagai lelaki pecinta kebersihan tentu ia kesal bukan main. Sepasang matanya meronta-ronta sesak mendapati entitas awut-awutan.

Sungguh tidak sedap dipandang mata.




BRUK!




"Aduh!"

Buku dengan seribu halaman itu mendarat bangkar di bahu kiri Jay karena letaknya yang tidak memadai di dalam rak. Jay bermuka masam, mengusap bahunya sembari mengumpat karena sakitnya boleh juga. Sudahlah halamannya tebal, sampulnya keras pula.

Jay ingin mengamuk saja.

"Fucked up. Emang paling bener kalau piket itu ngapus tulisan di papan tulis aja."




BRAK!!




Masih dengan kesibukan mengusap bahunya, Jay hanya melirik sekilas ke arah pintu yang baru saja dibuka keras oleh seseorang yang kini terengah-engah sembari menatapnya. Ia tampak berupaya menyerukan nama Jay walaupun sia-sia karena suaranya bahkan tidak keluar.

Yang berusaha dipanggil menghela napas.

"Kenapa Kai?"

Menangkap responsif yang baru saja diberikan, lelaki tersebut buru-buru mendatangi Jay sampai sang empu terheran-heran lantaran menyaksikan seragam yang dikenakan terlihat lembab. Jangan lupakan dengan rambut yang acak-acakan dan luka memanjang di tulang pipi.

"Lo kenapa?"

Yang ditanya segera menyusun kalimat pembicaraan dengan tangan bergetar. Walhasil catatan tersebut sedikit berantakan.




Gue mau ngomong sama lo, penting. Gue mohon, gue bakal bayar pakai apapun.




Sticky note sudah bertemu muka dan selesai dipahami. Jay mengerutkan kening, bingung dengan kalimat tersebut hingga kini berganti menatap Kai.

Lagi, teman sekamarnya ini lagi-lagi bertingkah aneh.

"Ngomong apa?"




Enggak di sini.




"Terus di mana?"




Di belakang asrama.




"Yaudah, tapi bentar gue"

Tutur katanya tercegah timbul tatkala Kai mendadak mencengkram bahunya. Sorot matanya menampakkan kegentaran bersama dengan bulir keringat bercucuran. Tak lama kemudian, ia melepaskan cengkeramannya dan kembali merangkai kata.




Kita nggak punya banyak waktu. Ikut gue sekarang sebelum akhirnya lo nyesel.




"Kenapa sih? Lo aneh tau nggak? Ngomong di sini aja sekarang."




Gue nggak bisa.




"Kenapa coba?"




Soalnya ada yang nguping pembicaraan kita.




Tunggu─apa?

"Jay."

Si pemilik nama beralih pandangan ke ambang pintu yang kini memperlihatkan eksistensi Taehyun tengah berdiri sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Udah selesai?"

Pertanyaan disampaikan sebagai bentuk basa-basi. Jay menganggut, segera memungut buku seribu halaman yang sempat terjatuh dan menghantam bahunya kemudian menempatkan ke tempat semula.

Taehyun bertolak dari ambang pintu, mendekat pada dua temannya lalu berhenti di sisi kiri Kai. Kepalanya berpaling, memperhatikan lelaki tersebut yang tengah berusaha mengamankan sticky note.

Ia tersenyum tipis saat mendapati selepas kehadirannya, Kai tidak bergerak dari tempat atau meliriknya barang satu detik saja.

"Kai...udah selesai makan?" Taehyun bersoal ringan guna memancing perhatian.

"Gimana? Makanan yang Minhee kasih enak?"

Lima detik Taehyun menunggu jawaban persoalannya timbul dari bibir Kai yang tersumbat. Sampai akhirnya tak membuahkan hasil apapun.

Penglihatan lelaki tersebut kosong, ia seperti kehilangan separuh jiwanya setelah kehadiran Taehyun. Meski begitu, ia tidak menghentikan gerakan meremas kuat-kuat sticky note dengan tatahan kata pembeberan.

Taehyun tergelak tanpa suara. Tangannya bergerak bermaksud bertonggok di bahu Kai jika saja sang empu tak menjauh.

Jay yang sedari tadi diam menonton terheran. Sama halnya dengan Taehyun yang nampak terkesiap dengan sikap Kai.

"Lo lihat...anehnya kumat." Tukas Taehyun menyeringai pada Kai.

Kai berselindung melirik Jay. Mengganti pandangannya berbentuk memohon, serentak dengan gelengan kepala rendah. Yang dikode malah semakin bingung, jiwa cepat tanggapnya terserak karena hantaman buku seribu halaman tadi sepertinya.

Walhasil ia memasabodohkan.

"Udah selesai kan? Cabut yok, udah mau malem."

Jay merespons Taehyun dengan anggukan. "Lo duluan aja, gue mau ke kamar Jake sebentar."

Berikutnya kedua lelaki tersebut melangkah berdampingan. Membiarkan Kai seorang diri, membumi dengan kehampaan nyaris membelitnya dalam kubangan kelam.

Tubuhnya perlahan roboh bersaingan dengan napas naik turun. Hatinya terasa diterjang gelora buncah yang menyeruak ke seluruh tubuh sampai mendatangkan respons emosional yang alami terhadap perasaan.

Kai terlalu emosional sampai-sampai hendak terisak. Terlebih-lebih pula saat memori masa lepasnya kembali beroperasi.

Suara cekikikan menyaringkan telinga membuat Kai segera menyumbat karena demi apapun ia sangat membencinya. Sejurus kemudian kedua kakinya diseret sebelum badannya beradu nyaring dengan dinding kelas.

Kai hampir tak sadarkan diri saking kerasnya badan menerjang dinding. Ia berusaha menggabungkan kesadarannya yang terhambur.

Kedua matanya dipaksakan terbuka guna memirsa wanita berwajah bengkak dengan sebelah mata yang menghilang serta lendir bewarna hitam dari bibirnya.

Tubuh Kai kini bergelimpang di dinginnya lantai kelas. Perlahan ia menahan napas tatkala wanita tersebut menindih dan mencengkram rahangnya disertai cekikikan. Wanita tersebut bahkan menghiraukan lendir hitamnya yang kini menetas mengairi pipi Kai.



"Jangan jadi sok jagoan. By acting this way...it doesn't mean you can save everything Hueningkai."

[✓] ASRAMA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang