𝐓𝐔𝐉𝐔𝐇

114 11 7
                                    

Pramidita kembali kedua ujung bibir yang ditarik ke bawah. Lagi-lagi, terlambat dan hukuman. Sepertinya itu kutukan bagi Pramidita.

Untung jadwal kelasnya sedang kosong hari ini. Karena guru yang seharusnya mengajar di kelas Pramidita sedang pergi ke luar kota.

"Buset, lo ini langganan telat apa gimana?" Jirena tersenyum mengejek.

"Diem," sentak Pramidita.

"Dah ah, ayo masuk."

🏹🌙🏹

Wayah sore, udan grimis ra uwis-uwis.
(Waktu sore, hujan gerimis tidak henti-hentinya.)

Alunan musik khas Jawa keluar dari radio mobil Dharma. Liriknya sesuai dengan keadaan saat ini. Rinai hujan tidak henti-hentinya turun di sore ini.

Guru muda itu sekarang harus mengantarkan Pramidita pulang. Setelah sedikit suapan, Pramidita bersedia pulang diantar oleh Dharma. Tadinya Pramidita ingin pulang bersama Jirena saja. Tapi, setelah diiming-imingi Oreo rasa strawberry akhirnya Pramidita menurut.

"Tadi dapat teman baru?" Dharma memulai obrolan. Pramidita yang sedang menikmati Oreo-nya pun menoleh.

Calon istri Dharma ini memiringkan kepalanya. "Hah? Siapa?"

"Tadi yang dihukum bareng kamu." Dharma memberi tahu lebih spesifik.

Dahi Pramidita berkerut. Sebuah ingatan tiba-tiba masuk ke kepalanya.

"Gara-gara lo, sih! Kalau aja lo enggak lari-larian kayak orang kesetanan pasti kita berdua enggak kena hukuman," gerutu siswa baru itu.

Pramidita membalas jengkel, "Andai aja lo enggak berdiri di belokan lorong itu, lo enggak bakal ketabrak."

"Orang kayak gitu? Mau dijadiin temen? Tau enggak sih, Mas? Gara-gara dia, aku jadi dihukum," oceh Pramidita.

"Salah siapa telat," sudut Dharma. Guru fisika galak itu tersenyum miring.

"Lah, kan Mas Dharma yang nyuruh aku turun di tengah jalan. Habis itu, disuruh jalan sendiri." Pramidita menyilangkan tangannya kesal. Memandang ke arah luar jendela dan seketika diam.

Dharma semakin meledek Pramidita, "Kamu jalannya lelet."

"Tau ah! kesel," rajuk Pramidita.

"Ada yang lagi ngambek ceritanya," cibir Dharma. Caranya bicara sengaja dibuat mengikuti nada lagu yang terus berputar.

Dharma membujuk, "Jelek muka kamu kalau cemberut gitu. Sekali-kali senyum, biar enak dipandang."

"Kalau udah tau jelek, kenapa masih dipandang?" cecar Pramidita.

Dharma terkekeh. Dirinya terlihat begitu berbeda sore ini. Dharma yang biasanya dingin dan tegas, sore ini menjadi lebih ramah dan lembut kepadanya. Walau sifat menyebalkannya tidak menghilang.

"Murid tadi pagi itu sepupu saya, dia pindahan dari Bandung," ucap Dharma tiba-tiba.

"Lah?! Oh, pantes...." Pramidita terkekeh hambar.

"Kenapa?" Dharma mengangkat satu alisnya.

"Sama-sama nyebelin," cerca Pramidita.

Dharma hanya menggelengkan kepalanya pelan. Sebelum memarkirkan mobil Fortuner-nya di halaman rumah Pramidita.

𝐄𝐭𝐞𝐫𝐧𝐢𝐭𝐲 [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang