Embun pagi masih menghiasi dedaunan. Cahaya matahari membelai lembut membangunkan semua orang. Semua makhluk hidup mulai membuka mata untuk memulai hari.
Termasuk Pramidita. Gadis itu berjalan menuruni tangga rumah Dharma. Lengkap dengan memakai seragam sekolahnya. Kemeja putih berlengan pendek, dengan jas abu-abu sebagai outer. Bawahan rok abu-abu gelap menambah kesan sederhana namun elegan. Ditambah pita di kerah seragam sebagai pemanis.
Dharma benar-benar niat membawa Pramidita menginap di rumahnya. Tidak hanya berpamitan kepada orang tua Pramidita terlebih dahulu, tapi Dharma juga membawakan murid sekaligus calon istrinya itu pakaian yang dibutuhkan.
Pramidita kini berjalan ke ruang makan. Winata juga di sana, menyiapkan sarapan untuk semua orang di rumah. Maklum, Winata satu-satunya perempuan rumah itu.
Tapi, tiba-tiba Pramidita merasa insecure. Bagaimana bisa Winata yang lebih muda darinya, mengurus pekerjaan rumah sendirian? Pramidita yang tidak sepenuhnya mengurus pekerjaan rumah saja masih sering mengeluh.
"Pagi, Kak Dita!" sapa Winata di pagi hari. Senyum manis telah terpatri di wajah Winata.
Pramidita tersenyum balik dan berjalan mendekat. "Mau dibantu, Win?" tawar Pramidita.
"Ah, enggak usah, Kak. Aku bisa sendiri. Kakak duduk aja," tolak Winata dengan halus. "Mas Dharma, kok enggak turun?!" Nada bicara Winata seketika berubah.
"Iya, Winata. Sebentar," sahut Dharma sembari menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Guru muda itu lalu duduk di meja makan tanpa beban.
Winata menyajikan secangkir kopi gula aren ke hadapan sang kakak. Setelah itu, mereka bertiga duduk untuk sarapan bersama.
Mereka semua memakan menu sarapan yang berbeda-beda. Berbeda dari Pramidita yang menyantap roti dengan selai stroberi, Winata makan dengan sereal berbentuk cincin warna-warni di temani segelas susu vanila. Sementara itu, lain lagi dengan Dharma. Pria itu lebih memilih makan berita, karena Dharma tidak memakan apapun dan malah membaca koran pagi hari.
"Mas Dharma enggak biasa sarapan jam segini," bisik Winata menyadari tatapan heran Pramidita.
"Terus sarapannya kapan?" Pramidita ikut berbicara dengan nada pelan.
"Agak siang, sekitar jam sembilan." Mereka masih bicara dalam kesenyapan. Meskipun mereka berbisik-bisik, suara mereka terdengar keras karena hanya ada mereka di ruangan ini.
Dharma berdeham agar dua cewek itu berhenti membicarakannya. Kasihan, dari kemarin jadi topik pembicaraan oleh cewek-cewek. Kemarin Pramidita dengan mbak-mbak kasir, sekarang Pramidita dengan adiknya sendiri.
"Oh, iya. Ayah kapan pulangnya, Mas?" Winata bertanya kepada Dharma. Pramidita baru sadar, Aksarsana--Ayah Dharma--tidak menampakkan batang hidungnya sejak kemarin.
"Dua hari lagi katanya," jawab Dharma kalem.
"Ayah lagi di luar kerja, Kak. Makanya, enggak kelihatan." Winata si paling peka langsung menjelaskan kepada Pramidita. Pramidita menganggukkan kepalanya pertanda paham.
"Kalian sarapan, saya mau nyiapin mobil." Dharma berlalu dari ruangan itu.
"Iya, Pak... eh, Mas maksudnya!" Pramidita meralat omongannya karena teringat larangan Dharma yang tidak memperbolehkan Pramidita memanggilnya Bapak di luar area sekolah.
"Gimana kesan nginep satu malamnya, Kak?" Winata mengaduk-aduk sereal di mangkuknya.
Karena penasaran Pramidita menanyakan sesuatu. Masalah ruangan yang dilihatnya semalam. "Ruangan yang di pintunya ada ukiran Reog Ponorogo itu ruangan apa, Win?"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐄𝐭𝐞𝐫𝐧𝐢𝐭𝐲 [HIATUS]
RomanceCinta datang karena terbiasa, begitu kata orang-orang. Namun pertanyaannya adalah, mampukah mereka membiasakan diri dengan apa yang namanya cinta? Terkadang takdir memang tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal itu lah yang dirasakan oleh Pramid...