𝐓𝐔𝐉𝐔𝐇 𝐁𝐄𝐋𝐀𝐒

93 8 0
                                    

Orang bilang, seumur hidup itu terlalu lama.
Tapi jika bersamamu, seumur hidup rasanya terlalu singkat, bukan?

🏹🌙🏹

Pramidita menatap refleksi dirinya di cermin. Wajahnya dipoles menggunakan make up. Rambutnya dibentuk menjadi sanggul. Malam ini, Pramidita memakai kebaya biru muda dan rok batik berbentuk duyung. Beberapa kali gafis itu mengatur napas, berusaha mengusir perasaan gugup yang mondar-mandir dalam hatinya. Malam ini adalah acara lamaran resmi sekaligus pertunangan Dharma dan Pramidita.

"Kalau gugup, itu biasa. Tapi jangan terlalu panik. Dulu waktu papa kamu melamar Mama, Mama juga takut dan cemas seperti kamu." Citreleka mulai menyentuh pundak putrinya.

Pramidita menghela napas gusar dan hanya mengangguk pelan. "Iya, Mama ...."

Pintu kamar Pramidita diketuk tiga kali, lalu Jirena muncul di ambang pintu. "Yuhuuu, bapak galak cakep banget, lho, Ta. Dia udah nunggu di bawah sama keluarganya."

Merasa semakin gugup, Pramidita meremas tangannya sendiri. Gadis itu berjalan menuruni tangga menuju ruang tamu, di mana acara akan diselenggarakan.

Tamu-tamu undangan adalah keluarga dekat dari kedua pihak tunangan, ditambah Jirena sebagai satu-satunya teman Pramidita yang mengetahui hubungan mereka.

Acara baru benar-benar dimulai saat Pramidita duduk di antara kursi Renjana dan Citraleka sebagai orang tuanya. Gadis itu diam-diam memperhatikan dan menilai penampilan Dharma yang duduk beberapa meter di seberangnya. Lelaki itu tampak menarik menggunakan kemeja batik dan celana kain.

Setelah memanjatkan beberapa do'a dan kalimat syukur, pembawa acara mulai berbicara.

"Yang saya hormati Bapak Renjana selaku orang tua dari Mbak Pramidita beserta keluarga besar. Serta keluarga besar dari Mas Dharma, putra dari Bapak Aksarsana dan mendiang ibu Amerta." Si pembawa acara menatap Dharma dan Pramidita secara bergantian.

Kini sang pembawa acara menatap sekeliling ruangan. "Serta yang saya hormati seluruh tamu undangan yang sudah berkenan hadir untuk menyaksikan acara lamaran Mas Pramidita dan Mbak Dharma."

Selanjutnya, Dharma mengambil alih mikrofon dan berbicara di hadapan orang tua Pramidita. Lelaki itu menundukkan kepalanya hormat. "Om, Tante ... kehadiran saya beserta rombongan ke mari bermaksud untuk melamar putri Om dan Tante secara resmi. Untuk itu, izinkan saya meminang Pramidita dan menjadikan gadis cantik ini sebagai pendamping hidup saya. Saya meminta restunya."

"Saya Renjana, atas nama keluarga sekaligus Ayah dari Pramidita, telah menyetujui lamaran Nak Dharma. Kami para orang tua sudah merestui hubungan kalian dari jauh-jauh hari. Tapi ingat satu hal ini, kalau kamu berani menggores kulit anak saya segaris tipis pun, maka siap-siap berhadapan dengan saya." Renjana bercanda sambil memperagakan gerakan menggorok leher. Seisi penjuru ruangan disuguhi gelak tawa akibat itu.

Ketika suasana mulai hening, sekarang Dharma yang berbicara pada calon istrinya. Lelaki itu mulai menghampiri Pramidita dan berhenti tepat di depannya sambil berlutut. Nyaris membuat semua orang terperangah, lalu mengeluarkan sebuah kotak beludru biru tua dari dalam celananya. Saat kotak terbuka, terdapat sebuah cincin berlian putih di dalamnya. Pramidita tidak kaget karena memang dirinya dan Dharma lah yang memilih cincin itu, tapi hampir seluruh tamu undangan melongo tak percaya.

"Pramidita Ratih Candramaya, sudikah kamu menerima lamaran saya untuk menjadi pendamping hidup hingga maut memisahkan kita?"

Jantung Pramidita menggelepar bagaikan genderang yang hendak berperang. Pandangannya mengedar ke sekeliling, menatap semua orang yang tampak tegang menunggu jawabanku.

𝐄𝐭𝐞𝐫𝐧𝐢𝐭𝐲 [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang