𝐒𝐄𝐌𝐁𝐈𝐋𝐀𝐍

101 9 0
                                    

Bruk!

Telat.

Pramidita sudah terlanjur pingsan sebelum Dharma berhasil menyelesaikan ucapannya.

"Pramidita!" pekik Dharma.

Tanpa menghiraukan tatapan dan omongan orang-orang, Dharma mengangkat Pramidita, ia membawa calon istrinya ke UKS untuk diperiksa keadaannya. Sesampainya di UKS, tubuh mungil gadis itu dibaringkan di atas brankar.

Selang beberapa menit kemudian, beberapa anak-anak PMR yang sedang bertugas datang untuk mengecek keadaan Pramidita.

Anak-anak PMR mulai menjelaskan bagaimana keadaan Pramidita. Pramidita hanya kelelahan, karena tidak mendapat cukup tidur dan telat makan.

"Biar saya yang menjaga Pramidita di sini," ujar Dharma

"Bapak mau menunggui Pramidita? Kalau begitu kita pamit, ya, Pak." Setelah memeriksa keadaan Pramidita, anak-anak PMR tadi berpamitan, "Saya tadi bikin teh hangat untuk Pramidita, Pak. Nanti tolong diminumkan, ya."

Usai anak-anak PMR meninggalkan ruangan, Dharma mendudukkan dirinya di kursi samping brankar Pramidita. Dharma menggenggam tangan anak muridnya. Sesekali, Guru muda itu akan mengusap pergelangan tangan Pramidita dengan ibu jarinya.

"Tugas yang saya kasih kemarin kebanyakan, ya?" kekeh Dharma, mengusap kepala Pramidita.

"Mungkin kalau saya tidak memberi kamu tugas sebanyak itu, kamu masih sempat untuk tidur delapan jam penuh, kamu masih bisa untuk makan sarapan tadi, dan tidak akan berakhir dihukum seperti tadi." Dharma terus mengoceh meskipun Pramidita belum sadar dari pingsannya.

"Bangun, ya, Ratih?" pinta Dharma.

Suara lenguhan Pramidita membuat Dharma mengangkat kepalanya dan menatap Pramidita. Gadis itu sudah sadar sekarang.

"Pak Dharma?" lirih Pramidita.

Dharma cepat-cepat mengambilkan Pramidita teh hangat yang telah dibuatkan oleh anak PMR.

"Sudah bangun?" periksa Dharma, menyibak poni Pramidita untuk menyentuh keningnya.

Memastikan dirinya meneguk teh hangat dengan baik, Pramidita menyahut, "Belum, kok, Pak. Ini yang lagi minum teh rohnya doang."

"Masih sempat kamu bercanda di keadaan seperti ini?" geram Dharma.

Dengan wajahnya yang masih pucat pasi, Pramidita menjawab enteng, "Hidup, mah, dibawa santai aja."

Dharma menatap anak didiknya dengan aneh. Ditariknya cuping telinga Pramidita.

"Aw! Bapak ... sakit! Orang cantik masa dijewer, sayang banget tau." Pramidita mengerucutkan bibirnya.

Dharma melepaskan jewerannya di telinga Pramidita, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Pramidita. "Lalu, diapain? Mau dicium aja kalau gitu?"

Pramidita menatap Dharma horor, melempari wajah sang guru dengan bantal kecil yang tadi ditidurinya.

"Bercanda!" serah Dharma, mengangkat tangannya.

Pramidita mendengus, "Siapa yang bawa Dita ke sini?"

"Saya," balas Dharma singkat.

Membelalakkan mata, Pramidita bertanya, "Orang-orang tau kalau Bapak ngangkat saya?"

"Tahu, tapi saya tidak peduli." Dharma mengembalikan gelas bekas teh hangat di meja.

"Makasih, Pak." Pramidia terkikik, tidak percaya bahwa Dharma mau mengangkatnya.

Dharma menoleh sekejap. "Jangan panggil saya Bapak."

"Loh? Tapi, kan, sekarang masih di sekolah," bingung Pramidita.

𝐄𝐭𝐞𝐫𝐧𝐢𝐭𝐲 [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang