𝐋𝐈𝐌𝐀 𝐁𝐄𝐋𝐀𝐒

99 9 0
                                    

Detik-detik yang berlalu terasa menegangkan. Setelah tiga tahun lamanya menjadi siswi SMA, akhirnya hari ini adalah titik final dari perjuangan Pramidita selama ini. Setelah pernyataan kelulusan diterima, Pramidita diwisuda hari ini.

Momen yang tidak bisa dilupakan adalah saat nama Pramidita mulai dipanggil ke depan dan disebut sebagai peringkat keempat. Ini merupakan perkembangan yang hebat dari Pramidita, karena berhasil masuk ke deretan sepuluh besar.

Tangis haru dan bahagia bercampur menjadi satu. Semua keluarga dari murid-murid kelas 12 turut hadir untuk menyaksikan hari kelulusan mereka.

Pramidita merasa bahagia. Sangat. Namun terasa ada yang mengganjal di hati gadis itu. Meskipun sempat mengambil potret bukti kelulusan dengan memakai setelan kebaya dan jubah hitam bersama teman-teman. Selama berjam-jam Pramidita menunggu dan mengharapkan kehadiran Dharma. Namun sejak tadi juga, batang hidungnya saja tidak terlihat. Ponsel Dharma juga tidak aktif.

"Dasar genderuwo pembohong!" maki Pramidita ketika baru membuka pintu rumahnya. Dirinya membuka high heels, lalu melemparnya sembarangan.

Pramidita masuk ke kamar sambil mencak-mencak. Citraleka dan Winata menyusulnya. Berniat membantu Pramidita membersihkan diri.

Mereka berdua memperhatikan Pramidita yang tengah melepaskan sanggul, anting, bulu mata palsu, serta menghapus riasan dengan wajah murka maksimal.

"Duh, Ta. Kok hapusnya begitu, sih? Mukamu jadi cemong, tuh," protes Citraleka sambil membantu Pramidita melepaskan rok batiknya.

"Dita, tuh, kesel banget sama Mas Dharma, Ma! Katanya dia mau datang ke acara purna wiyata Dita." Pramidita melipat lengannya di depan dada.

"Maklumilah pekerjaan calon suamimu itu, Dita! Namanya kerjaan, mana boleh check-in dan check-out sesuka hati," ujar Citraleka.

Pramidita tidak menggubris ucapan wanita yang telah melahirkannya itu. Kini maskaranya luntur akibat menangis.

Winata tiba-tiba saja cengengesan geli seraya menghapus air mata calon kakak ipar menggunakan tisu.

"Kak Dita lucu banget, deh. Dulu aja, Kak Dita sering menghindar dari Mas Dharma. Sekarang giliran Mas Dharma enggak dateng ke wisudanya, Kak Dita malah ngomel-ngomel gini. Jangan-jangan, Kak Dita mulai ada perasaan sama Mas Dharma, ya?" goda Winata.

"Ini bukan masalah perasaan, Winaaa. Tapi masalah manajemen waktu! Gimana caranya Mas Dharma membuktikan janji-janji yang telah dia ucapkan?" oceh Pramidita.

"Kemarin saya enggak bilang janji, Ratih." Bariton seorang lelaki mengejutkan Pramidita. Hanya satu orang yang memanggilnya dengan nama tengah.

Dharma Lakeswara.

Tangis Pramidita reda kala sesosok laki-laki yang sejak tadi menjadi penyulut enosinya tiba-tiba muncul. Berdiri di ambang pintu kamar.

Citraleka menyenggol lengan Winata. Secara diam-diam, mereka berdua meninggalkan kamar Pramidita. Memberikan sedikit privasi terhadap Dharma dan Pramidita.

"Ya ampun." Dharma terkekeh. "Dandanan kamu kenapa jadi kayak bencong lagi mangkal begitu. Berantakan semua riasannya."

Pramidita berbalik. Lalu berdiri dan memukul dada bidang Dharma dengan sekuat tenaganya, walau itu tak cukup untuk membuat Dharma jatuh terjerembab.

Dengan bahu bergetar, Pramidita mengamati penampilan Dharma. Wajahnya berkeringat, dasinya miring ke kanan, dan kemeja putihnya penuh dengan bercak coklat.

Melihat air muka Pramidita yang bingung, Dharma mulai menjelaskan, "Habis dari bandara, saya cepat-cepat datang ke sekolah karena teringat kamu meminta saya hadir di wisuda kamu. Tapi waktu sampai di sana, sekolah udah sepi, tinggal guru-guru sama karyawan sekolah."

𝐄𝐭𝐞𝐫𝐧𝐢𝐭𝐲 [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang