Langit mulai membiru, mengusir awan-awan gelap yang sejak pagi tadi bergelung di sudut langit. Hujan memang menyerbu kota kelahiran Pramidita ini sedari tadi. Namun menjelang siang, matahari kembali menyembul malu-malu. Cerah namun tidak terik.
Pukul 10.47 siang, Pramidita tidak melakukan aktivitas. Hanya menunggu Dharma yang katanya akan datang ke rumah, sambil sesekali memeriksa notifikasi ponselnya.
Perempuan dengan jepit rambut strawberry itu sedang memberi makan Djiwantara—ikan hadiah dari Dharma— saat dua buah pesan singkat masuk dan nama kontak Mas Dharma muncul di bagian paling atas notifikasi pop-up itu.
Mas Dharma: Saya sampai sebentar lagi.
Mas Dharma: Masih beli makanan.Pramidita lantas terkekeh karena menyadari suatu hal. Yaitu, Dharma selalu mengirim pesan sesuai EYD. Ketikannya rapi dan tidak jamet seperti cowok-cowok yang biasa dikenalnya.
Sehabis memberi makan Djiwantara dan mengirimkan beberapa bubble chat balasan terhadap pesan Dharma, Pramidita menggolekkan kepalanya di atas meja.
Sambil menahan kantuk, Pramidita memperhatikan pot-pot tanaman sukulen milik mama Citraleka yang kini nyaris memenuhi rak tanaman. Jumlahnya sudah tak terhitung sekarang. Sampai-sampai pojok kiri teras tampak warna-warni karena pot sukulen milik mama Citraleka.
Tanaman kalau dimakan rasanya enak enggak, sih? Sepotong pertanyaan acak muncul di otaknya.
Entah akibat terlalu bosan karena menunggu Dharma yang lama datang atau karena memang Pramidita anak yang random.
Kala hendak beranjak dari tempat duduk, suara mesin motor datang mendekat. Pramidita tertawa renyah mana kala menangkap figur Dharma yang sedang menurunkan standar motornya di halaman rumah. Tak seperti biasanya, Dharma tidak membawa mobil kali ini.
Lelaki jangkung itu berjalan, membawa dua kotak yang sudah Pramidita hafal sudut-sudutnya. Nasi goreng yang dijual dekat lampu merah.
"Dingin, ya, hari ini?" ujar Pramidita basa-basi.
Dharma mengusap kepala Pramidita lembut. "Sejuk. Tapi, lebih sejuk karena melihat wajah kamu."
Akibatnya, lelaki 25 tahun itu menerima sakit di jempol kaki kanannya. Alih-alih meringis, ia malah mengulum senyuman lebar.
Baginya, tidak ada kegiatan yang lebih menyenangkan dari pada menjahili sang kekasih. Tidak ada hal yang lebih cantik dari pipi menggembung Pramidita saat kesal. Serta, tidak ada yang lebih lucu dari pada gerutuan sebal yang tercipta dari mulut gadisnya.
"Mas Dharma rugi kalau datang ke sini cuma buat jahilin Dita," celetuk Pramidita dengan hidung yang mengerut kesal.
"Terus ... caranya biar enggak rugi bagaimana?" tanya sang lelaki.
Sontak, Pramidita menarik tangan Dharma untuk duduk berhadapan dengannya. Lalu dengan cekatan mengambil ponselnya untuk mencari sesuatu. Sedang, Dharma duduk diam di depannya menunggu.
"Mending Mas Dharma ajarin aku ini," pinta Pramidita. "Sebentar ...,"
Asik sekali Pramidita menatap layar kecil di genggamannya. Jarinya tampak menykiskan sesuatu di sana. Di seberang meja, juga asik sekali Dharma memandang paras teduh yang tak disangka-sangka telah menjadi tunangannya.
"Nah, ini!" Gadis itu mencondongkan tubuhnya ke arah Dharma demi menunjukkan sebuah vidio dari kanal YouTube.
Dengan menggebu-gebu, Pramidita mengungkapkan kebingungannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐄𝐭𝐞𝐫𝐧𝐢𝐭𝐲 [HIATUS]
RomanceCinta datang karena terbiasa, begitu kata orang-orang. Namun pertanyaannya adalah, mampukah mereka membiasakan diri dengan apa yang namanya cinta? Terkadang takdir memang tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal itu lah yang dirasakan oleh Pramid...