𝐒𝐄𝐁𝐄𝐋𝐀𝐒

91 11 0
                                    

Dharma berjalan menyusuri dapur. Laki-laki itu mulai membuka tudung saji, kulkas, dan lemari dapur. Wajahnya terlihat cemberut saat tidak menemukan makanan apa pun.

"Kemana semua mi instan punya Mas? Kok kardusnya kosong?" Guru fisika itu menatap sang adik penuh curiga.

Winata mengangkat bahu acuh tak acuh. "Mana aku tahu. Kan, di rumah ini yang suka makan mi instan malam-malam cuma Mas Dharma. Memangnya siapa lagi?"

"Tuyul, kali?" Dharma menjawil hidung adiknya.

"Bukan tuyul, tapi genderuwo. Dan genderuwonya itu Mas Dharma!" timpal Pramidita yang menghuni ruang tamu. Pandangannya lurus ke arah televisi, tangannya sibuk memencet tombol pada remote yang digunakan untuk memindahkan kanal televisi.

Dengan sempoyongan, Dharma berjalan ke ruang tamu dan menghempaskan tubuhnya di sofa, tepat di sebelah Pramidita.

"Lapar ...," rengek Dharma. Kebiasaan lelaki itu yang sering kelaparan malam-malam membuat sifatnya menjadi sedikit berbeda.

Kontan, Pramidita menatap calon suaminya tak percaya. "Mas Dharma baru makan satu jam yang lalu, loh? Masa lapar lagi, sih?"

"Lapar, kan, bisa datang kapan saja," jawabnya dengan hati setengah jengkel, dengan fakta bahwa stok mi instannya habis.

Pramidita tidak menggubris ucapan Dharma. Terlalu fokus pada televisi yang menayangkan film kesukaannya, Twilight.

"Nonton film apa?" Dharma ikut memandang layar televisi yang sama sekali tak menarik minatnya. Punggungnya bersandar di sofa sambil menguap, mulai merasa bosan.

"Itu ceweknya kenapa duduk di depan jendela kayak orang gila? Lagi nungguin bintang jatuh?" komentar Dharma, merujuk pada tokoh protagonis wanita.

Lelaki dua puluh tiga tahun itu menunjuk layar televisi sembari terus mengoceh. "Lho ... ini, kan film vampire yang suka sama manusia itu."

Pramidita sama sekali tidak mengacuhkan ucapan Dharma. Masih terlarut dalam kesedihan yang dialami Bella Swan saat kehilangan Edward Cullen.

Kisah romansa karya Stephenie Meyer ini selalu menjadi favoritnya, baik dalam bentuk novel maupun film. Meskipun sudah berulang kali ditayangkan, tetap saja film tersebut mampu menguras air mata Pramidita. Bahkan, bahunya sampai bergetar hebat akibat menangis.

"Mereka lagi ngapain, sih? Filmnya aneh. Tukar ajalah, saya mau lihat berita." Dharma ingin merebut remote televisi yang digenggam Pramidita. Untungnya, cewek itu bisa menghindar dan mengangkat tangan tinggi-tinggi.

"Mas Dharma bisa diem enggak? Berisik banget dari tadi. Lagi sedih, nih."

Dharma bergumam kesal. Kemudian langsung mengubah posisi tubuhnya menjadi berbaring. Kepalanya berada di paha Pramidita dan salah satu kakinya menggelantung di bawah. Sofa melesak cukup dalam saat Dharma bergeser.

Beban tubuh Dharma yang berat membuat kaki Pramidita pegal. Namun anehnya, gadis itu tak mampu mengeluarkan satu patah kata pun. Efek deg-degan.

Sedangkan Dharma mendongakkan kepalanya, menatap Pramidita sambil menyeringai. Pramidita mengabaikannya dan berpura-pura bahwa Dharma adalah makhluk halus yang tak bisa dilihat.

"Ratih ingusnya meler, tuh," komentar Dharma.

Buru-buru, Pramidita menyeka hidungnya dan menempelkan tangan di pakaian calon suaminya.

Dharma langsung mengeluh, "Jorok sekali calon istriku."

"Biarin! Jorokan siapa coba? Dipikir Dita enggak tau, kalau Mas Dharma suka kentut sembarangan waktu tidur?"

𝐄𝐭𝐞𝐫𝐧𝐢𝐭𝐲 [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang