4. Kejamnya William

52 10 2
                                    


"Bukankah salah satu rukun menikah adalah adanya wali?" Dari pintu masjid, Bara masuk dan langsung menyela kalimat penghulu. William menyusul di belakang dengan tatapan tajam. Mengetahui Ravif pulang dari London sebelum saatnya, dia langsung mengajak Bara mencari anak itu. Tidaklah sulit untuk mendapat kabar jika Dishana dan Ravif berniat menikah di masjid ini.

"Di sini tidak ada wali dari mempelai wanita sedangkan saya masih hidup." Bara berdiri tak jauh dari mereka. Dia memperhatikan Ravif dan Dishana, masih belum percaya dua orang itu benar-benar mempunyai hubungan.

"Saya sebagai ayah dari mempelai pria tidak menyetujui pernikahan ini!" Rahang William mengeras, menilik tautan tangan anaknya dengan penghulu di atas meja. Mata setajam elang itu berkilat marah.

Penghulu itu berdiri hingga jabat tangan mereka terlepas begitu saja, sedikit kesal karena Ravif telah berbohong dengan mengatakan jika ayah mempelai wanita sudah tiada. Ravif dan Dishana bertukar pandang mendengar kalimat William. Perlahan, jemari mereka saling menggenggam di bawah meja. Ketakutan seketika mendera.

Dua saksi yang ada di sana hanya menonton. Sedikitnya mereka tahu ijab kabul yang hampir mereka saksikan tidak didasari oleh restu orang tua. Mereka memilih angkat tangan karena biasanya masalah seperti ini cukup pelik.

Dishana menghapus jarak dengan Ravif, genggamannya semakin erat, netra yang sudah berkaca-kaca itu memelas menatap Bara. "Pa, aku mohon jangan pisahkan kami."

Ravif mendekap Dishana dengan erat. Selama ini dia selalu mematuhi ayahnya. Apa pun yang William inginkan selalu ia turuti. Kali ini, Ravif akan menolak. Dalam benak bertekad untuk mempertahankan cintanya. "Pa, aku mencintai Disha. Aku ingin menikah dengannya, bukan dengan Regina."

Dishana mengangguk berkali-kali dengan keras, tak menghiraukan sanggulnya yang mulai rusak. Bibir ranumnya berubah pucat di balik gincu.

"Jangan jadi anak pembangkang kamu!"

Mengabaikan teriakan William, Dishana memberanikan diri menatap mata Bara, berharap pria itu mau mengasihinya. Air mata luruh begitu saja. Dia memohon dengan suara lirih. "Pa, jangan ambil kebahagiaanku lagi."

"Ravif, saya perintahkan lepaskan tangan kalian dan menjauh dari gadis itu!" William benar-benar muak dengan hubungan mereka. Dia terus menggertak sampai napasnya memburu.

Melihat itu, Bara menepuk pundak sang rekan kerja. "Wil, kamu ingin kita menjalin persaudaraan dengan menjadi besan, kan? Kenapa kita tidak membiarkan mereka---"

"Tidak, Bara! Saya menginginkan menantu yang baik!" William memotong dengan cepat, tahu jika Bara ingin membiarkan dua orang itu menikah. Tentu saja William menolak, karena sejak awal yang dia pilih adalah Regina, bukan Dishana. Bahkan, mata tuanya memindai Dishana dengan jijik. "Anakmu yang ini sudah rusak dan pembangkang! Gadis seperti itu tidak pantas menjadi menantu keluarga Dermaga!"

Bara terdiam, melihat Dishana yang masih memandanginya penuh permohonan. Wajah yang selama ini selalu memberontak itu kini terlihat begitu memprihatinkan. Entah bagaimana, Bara dapat melihat dirinya semasa kecil di netra keabuan itu, menimbulkan rasa tak asing dalam benak.

"Pisahkan mereka!"

Mendengar perintah William, beberapa pria berbadan besar bergegas masuk. Mereka langsung menghampiri Ravif yang masih memeluk Dishana amat erat. Penghulu dan dua saksi memilih menepi, tidak mau mencampuri masalah keluarga tersebut.

"Pa, aku mohon ... jangan ambil kebahagiaanku. Aku mencintai Ravif." Tubuh Dishana melekap tidak mau dipisahkan dari Ravif. Namun, seakan tidak memiliki belas kasih, para anak buah William tetap berusaha memisahkannya dari Ravif.

"Pa, aku ingin menentukan pilihan sendiri! Aku ingin Dishana, bukan Regina, Pa!"

"Jangan membantah kamu, Ravif!" Pukulan William berdebuk nyaring mengenai punggung putranya.

Hah, Nikah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang