Dishana menarik napas dalam, menunggu beberapa saat hingga pandangannya kembali normal. Tangannya bergetar saat menggenggam dan mendorong knop pintu. Dia segera keluar melewati pekarangan rumah sakit. Kaki jenjang tanpa alas itu menapak di trotoar yang panas karena terpapar matahari. Tatapan heran para pengguna jalan menyertainya yang masih berbalut pakaian pasien.
Jarak antara rumah sakit dan rumahnya cukup jauh. Dishana kesulitan mengatur napas. Tak bisa dipungkiri, tubuhnya mulai lelah. Kening dan lehernya basah oleh keringat. Hembusan angin jalanan yang berdebu membuat rambut panjangnya tak beraturan.
Setelah jauh berlari, tak juga ada kendaraan yang menghiraukan lambaiannya. Mungkin mereka mengira Dishana adalah orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa. Perlahan kecepatan larinya berkurang, tubuhnya terhuyung sebelum hilang keseimbangan. Dishana terduduk tak berdaya di aspal.
Gadis itu menoleh ketika sebuah motor berhenti di sampingnya. Seorang pemuda membuka helm dan melihat kondisi Dishana yang memprihatinkan. "Bu Disha kenapa bisa di sini sendirian?"
"Tolong antar saya ke rumah."
Pemuda itu merupakan pegawainya, dia mengernyit. Namun, tak ada waktu untuk bertanya. Dia membantu Dishana naik ke boncengan motor. Sesuai titah Dishana, dia melaju dengan kecepatan tinggi.
Dishana langsung turun begitu motor berhenti. Dari luar, pekarangan rumahnya terlihat penuh kendaraan memarkir. Dishana berjalan lemah melewati pagar yang terbuka. Dia tak menghentikan langkah meski lututnya gemetaran hendak ambruk. Di lantai yang dingin, kaki telanjang itu menapak perlahan.
Kumpulan orang yang sedang menikmati jamuan berbalik, memusatkan perhatian kepada gadis yang baru saja memasuki pintu. Tatapan mereka berbeda-beda, dominan penuh tanya serta merendahkan. Orang-orang itu dengan sendirinya menepi, merasa risih dengan penampilan Dishana yang lusuh dan berantakan.
Dishana tak menghiraukan tatapan mereka. Dia hanya ingin melihat keadaan di pusat resepsi. Ketika melihat ke arah pelaminan, dia berhenti. Dadanya bergemuruh melihat sepasang pengantin yang bersandingan di pelaminan. Tubuhnya mematung dengan napas tersendat.
Gue ... terlambat, ya?
Sudut mata gadis itu berkedut, netranya memerah dan terasa perih. Dia hampir menangis jika tidak menahannya. Jelas sekali mata itu memancarkan kekecewaan.
Kenapa lo bisa nikah sama dia, Vif? Mana janji lo buat perjuangin cinta kita? Lo bohong, Vif!
Lelaki itu juga melihat Dishana di antara ramainya tamu undangan. Sekejap tatapan mereka bertemu. Dari mata yang masih memancarkan cinta itu, Ravif seakan mengatakan ketidak berdayaannya. Ada keinginan yang bergejolak di dada untuk berlari dan merengkuh tubuh gadis itu. Namun, dia hanya bisa menahan diri dengan sesekali melirik William yang sedang berbincang dengan rekan bisnis di dekat meja jamuan.
Tangan Dishana diam-diam meremas pakaian pasien yang melekat di tubuh. Lututnya lemas dan gemetar hingga ia kesulitan menopang beban tubuh. Tubuh yang hampir ambruk itu segera dirangkul seseorang. Dishana mendongak dan melihat Bara yang berjarak dekat. Air matanya menggenang ketika melihat wajah berwibawa itu. Dialah pria yang tetap mengadakan pernikahan walau tahu dirinya mencintai si pengantin pria.
"Kamu tetap saja hadir ke sini padahal masih sakit. Seharusnya pentingkan saja kesehatanmu," ujar Bara sambil mengusap puncak kepala Dishana. Perlakuan asing itu mengejutkan Dishana.
"Bukankah itu putri palsunya Pak Bara?"
"Iya benar. Seperti kabar yang beredar, dia sangat buruk dari penampilan maupun sopan santunnya."
Bisik-bisik mulai terdengar. Para tamu menilai penampilan Dishana yang acak-acakan dan perlakuan lembut Bara.
"Pak Bara sangat baik. Meski putri bungsunya buruk, dia tetap menyayanginya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hah, Nikah?
RomanceDitinggal nikah. Eh, dipaksa nikah? Dishana belum sempat move-on begitu kekasihnya menikah dengan Regina Albarack, yang tak lain adalah kakak beda ibu. Dalam keadaan masih berkubang cinta masa lalu, dia dijodohkan dengan lelaki tak dikenal. "Hah, ni...