Dari fajar menyingsing sampai sekarang--anak-anak setingkat SMA pulang sekolah, mobil Dishana menelusuri sepanjang jalan, hanya sesekali berhenti untuk mengisi bahan bakar. Menikmati pemandangan hiruk-pikuk kota membuat pikirannya sedikit teralihkan dari Ravif. Puas menenangkan diri, Dishana memarkirkan mobil di basement sebuah apartemen. Lift yang dia tumpangi bergerak naik menuju lantai 19. Dia menyandarkan punggung di dinding lift seraya memejam sejenak.
Pintu lift terbuka disertai dentingan yang khas. Gadis itu membuka mata, menegakkan punggung kemudian berjalan di koridor apartemen yang sepi. Dia berhenti di depan sebuah pintu dan mengetuknya.
Pintu segera terbuka. Arhan menyambut dengan senyum lebar. Setelah mempersilakan Dishana masuk, dia langsung duduk di sofa, melanjutkan permainan di ponsel yang sempat tertunda. Dia tak acuh saat Dishana melewatinya menuju dapur.
"Lo cuma masak ini!?"
Suara Dishana terdengar nyaring memprotes makanan. Arhan menghela napas kasar, melempar ponselnya ke sofa dan menghampiri tamu tak sopan itu.
"Kali-kali masak yang enak dikit kenapa, sih?" Kendati celotehannya masih berlanjut, gadis itu tetap melahap makanan dingin di atas meja. Cara makannya yang sangat tergesa-gesa membuat Arhan meringis. Sahabatnya ini sudah berapa hari tidak makan?
"Daripada meringis-meringis kayak begitu, mending lo masakin gue mi atau apa kek."
Arhan merasa kesal, lantas menjitak kepala gadis itu. "Mi goreng apa rebus?"
Umpatan tak terhindarkan dari bibir Dishana. Dia terus mengomeli Arhan yang membuka rak penyimpanan. "Lo kira kepala gue gak sakit, apa!?"
"Mi goreng apa mi rebus, my girl?" Arhan mengulangi pertanyaannya ketika gadis itu tak berhenti mengoceh.
Dishana yang sedang mengunyah menatap lapar beberapa bungkus mi instan di dalam rak penyimpanan. "Lo punya nasi, kan? Kayaknya mi goreng enak tuh. Lo mau masak buat gue?"
"Buat siapa lagi kalau bukan buat lo?"
"Gitu dong, kali-kali baik sama gue." Dishana menaik turunkan alisnya dengan ekspresi yang terlihat sangat menyebalkan.
Arhan memutar bola mata. Kapan dia tak pernah baik kepada sahabat yang selalu merepotkannya itu? Selama memasak mi, mulutnya tak berhenti bergerak mencibir. Untung posisinya membelakangi Dishana, jadi tidak akan mengundang aksi saling memukul.
Arhan menyajikan mi goreng tepat saat makanan di meja habis. Dia menopang dagu di salah satu kursi, tersenyum tipis seraya memperhatikan cara makan Dishana yang begitu lahap. "Lo udah dapet bulan ini?"
Dishana hampir tersedak mendengar pertanyaan aneh itu. Dia mengarahkan tatapan heran kepada Arhan. "Kenapa nanya gitu? Emang gue harus lapor ya, kapan dapet tiap bulannya? Lo mau nyuciin pembalut kotor gue?"
"Ya enggaklah! Gila! Cuci aja sendiri!" Arhan langsung menyentak. Mencuci pembalut kotor gadis itu? Yang benar saja! Sedetik setelahnya dia merendahkan suara. "Maksud gue, lo pacaran sama Ravif udah lama---"
"Apa? Jangan mikir macem-macem ya! Gaya pacaran gue gak sejauh itu!" Dishana melotot lebar, paham arah ucapan Arhan. Di akhir kalimat dia mencibir, "Memangnya lo, belum nikah udah depe duluan!"
Arhan dibuat bungkam oleh sarkasme yang keluar dari mulut Dishana. Dia mengisi gelas dengan air di teko kemudian meneguknya hingga tandas.
"Ngomong-ngomong, lo udah makan?" Suara Dishana memecahkan kesunyian yang sempat melanda. Dia menyudahi makannya dan menuangkan air untuk diminum.
"Gue udah go food, tinggal nunggu datang."
"Buat gue ya? Lo pesan lagi."
"Hm." Arhan membawa piring kotor Dishana ke wastafel untuk dicuci. Sementara si gadis langsung duduk di sofa setelah beserdawa keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hah, Nikah?
RomanceDitinggal nikah. Eh, dipaksa nikah? Dishana belum sempat move-on begitu kekasihnya menikah dengan Regina Albarack, yang tak lain adalah kakak beda ibu. Dalam keadaan masih berkubang cinta masa lalu, dia dijodohkan dengan lelaki tak dikenal. "Hah, ni...