Aku saranin baca ulang bab sebelumnya biar gk bingung, karena bab 9 hasil revisi beda bgt sama yang dulu.
Happy reading!
***
"Jangan tidur di sofa. Kebohongan kita besok pagi bakal sia-sia kalau tiba-tiba Cecilia buka pintu."
Gerakan Darga yang hendak berdiri jadi terhenti karena ucapan Dishana. Dia menoleh dan menyengir karena gadis itu seakan bisa membaca pikirannya. Dengan gerakan kaku, dia menyusupkan kaki ke dalam selimut dan mulai merebah. Cahaya keremangan memenuhi kamar saat Dishana menyalakan lampu tidur.
Mereka berbaring canggung dalam selimut yang sama. Mata mereka tidak mau terpejam dan sama-sama memandangi langit kamar. Detik jam mengiringi detak jantung dan hembusan napas mereka. Sayup-sayup terdengar rintik hujan dari luar. Udara makin terasa dingin, membuat Dishana menaikkan selimut sampai batas dada.
Tiba-tiba, kilat cahaya menembus dari luar jendela disertai guntur yang keras. Tubuh Darga tersentak, mata terpejam kuat dan tangannya mengepal di balik selimut.
Dishana memiringkan tubuh. Alisnya bertaut melihat ekspresi cowok itu. "Lo kenapa?"
Darga hanya menggeleng samar. Tubuhnya yang tegang makin membuat Dishana heran dan takut. "Eh, lo kenapa sih? Jangan sakratulmaut di samping gue!"
Guntur kembali terdengar. Darga terperanjat dan kali ini refleks memeluk Dishana dengan kuat. Pundaknya bergetar dengan wajah bersembunyi di cekuk leher gadis itu. Suaranya lirih penuh ketakutan. "Ke--kenapa harus ada guntur?"
Napas Dishana sesak karena dekapan Darga yang seakan meremas tulang. Kedua lengannya tertahan dalam pelukan Darga. Dia terpaku dan berkedip linglung sebelum akhirnya sadar kalau Darga takut guntur. Perlahan, dia mengusap lembut pinggang cowok itu. "Jangan takut. Ada gue di sini."
Ajaib, usapan jemari lentik Dishana berhasil menenangkan Darga. Cowok itu tidak lagi gemetaran meski tak merubah posisi.
Bermenit-menit berlalu, tak ada lagi guntur meski masih terdengar rintik dari luar. Dishana tetap terjaga dan terus mengusap punggung Darga. Dia dapat merasakan gerakan bulu mata di kulit lehernya saat cowok itu berkedip. Meski ragu, dia menepuk punggung lebar itu. "Ga, udah habis gunturnya."
Darga menggeleng lemah dan mencicit, "Nanti ada lagi."
"Enggak, yakin deh sama gue. Lepas ya pel---"
Pendobrakan yang keras memotong kalimat Dishana. Dua manusia yang sedang berbaring dalam satu selimut itu menoleh, dan terbelalak melihat siapa yang mematung di pintu. Dengan panik, Dishana mendorong Darga lalu bergegas turun dari kasur dan berdiri kaku.
"Pa, Ma, i--ini gak seperti yang kalian lihat." Dishana berusaha menjelaskan. Kakinya menggigil ketika bertemu tatap dengan Liyana. Sementara Darga yang tak kalah gugup langsung membenahi penampilan meski pakaiannya tak berantakan. Dia berdiri di belakang Dishana.
"Lihat, Liyana. Anak yang selalu kamu banggakan itu, sepertinya senang sekali bermesraan dengan seorang lelaki di kamar ini." Bara menggeleng pelan sambil menyeringai tipis. Ekspresinya begitu merendahkan, tetapi berbeda dengan mata tuanya yang nanar. Benar dugaanku, pergaulan anak itu sudah sebebas ini.
Liyana mengetatkan gigi, genggaman pada rantai tas mengerat. Jantungnya kembali berdetak setelah berhenti sesaat. Ibu mana yang tidak terkejut melihat putri satu-satunya di dalam kamar bersama seorang lelaki asing dan berpelukan tanpa jarak di ranjang? Mata itu mulai berkaca-kaca. Dia memindai lelaki di belakang anaknya. Ini Ravif yang pernah Disha ceritakan itu?
"Kenapa harus sejauh ini cara berpacaran kalian?"
Mendapat pertanyaan seperti itu membuat jantung Dishana seakan dihantam palu gada. Dia menyongsong dan menggenggam tangan sang ibu dengan erat. "Mama, percaya sama Disha. Ini cuma--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hah, Nikah?
RomanceDitinggal nikah. Eh, dipaksa nikah? Dishana belum sempat move-on begitu kekasihnya menikah dengan Regina Albarack, yang tak lain adalah kakak beda ibu. Dalam keadaan masih berkubang cinta masa lalu, dia dijodohkan dengan lelaki tak dikenal. "Hah, ni...