Sebelumnya absen dulu. Kalian baca bab ini pagi, siang atau malam?
Dishana bangun tepat jam delapan malam. Dia menggeliat pelan, membeliak ketika melihat Arhan tidur di sofa tak jauh dari kasur. Secepat kilat dia berlari dan melompat ke perut cowok itu. Teriakan kerasnya membuat Arhan terbangun. "Kampret memang! Lo lebih milih tidur di sofa ketimbang di samping gue, hah!"
Arhan menggeram karena tingkah gadis itu. Meski kesal, dia terkekeh dan mencubit pipi Dishana dengan gemas. "Turun dulu, engap perut gue."
"Ogah! Jelasin dulu kenapa lo gak mau tidur di samping gue!?"
Arhan memejam begitu Dishana memukuli dadanya.
"Lo berubah, Han! Biasanya lo tidur di samping kalau gue lagi menginap! Lo bukan Arhan-nya gue yang dulu!" Dishana tak berhenti meninju dada bidang cowok itu.
Arhan tetap diam seakan tak merasakan sakit. Dia bahkan berkata dengan tenang. "Gue gak mau Yaura salah paham kalau lihat kita tidur berdua."
"Gak mungkinlah. Yaura kenal gue, dia tahu kalau kita cuma sahabat." Dishana memasang wajah cemberut, mendekap dada masih dengan posisi menduduki perut Arhan.
"Hubungan sahabat antara laki-laki sama perempuan itu gak mudah dipercaya, Dish. Mungkin, Yaura terlihat fine-fine aja. But, how does she feel? Bisa aja dia curiga sama hubungan persahabatan kita."
"Tapi ...." Ucapan Dishana menggantung. Dia menghela napas pasrah dan perlahan turun dari perut Arhan. Dia ikut duduk di sofa setelah Arhan bangun dari rebah. Baru saja mendaratkan tubuh, cowok itu sudah berdiri dan berjalan meninggalkannya menuju kamar mandi.
"Heh, jangan mandi dulu! Lo harus masakin gue, Arhan! Gue laper!" Dishana berteriak sampai suaranya melengking. Padahal sebelum tidur dia sudah makan.
"Gue cuma cuci muka." Arhan menyahut dari kamar mandi disertai suara kucuran keran.
"Han, gue mau di sini buat beberapa hari ke depan. Nanti lo ambil baju gue ke rumah, ya?"
"Gue malas bertemu bokap lo. Soal baju beli aja, ambil black card di dompet gue."
Dishana senyum-senyum sendiri mendengar itu. Dia langsung mengambil dompet Arhan yang tergeletak di atas laci. Ternyata, kebiasaan dibelanjakan Ravif masih melekat dalam dirinya.
"Lo cocoknya jadi sugar daddy gue sih, Han. Mau gak?"
"Ogah. Mending gue jadi ATM berjalan ketimbang jadi sugar daddy." Arhan berjalan santai keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat segar dengan rambut basah dan tetesan air turun dari pelipis ke lehernya. Dia melewati Dishana seraya bertanya, "Mau makan apa?"
"Lo bisa masak pindang gak? Atau ikan panggang aja deh. Sambelnya yang pedas ya. Jangan lupa pakai jengkol," jawab Dishana, yang lebih mirip seperti sedang memesan makanan di kedai pinggir jalan.
Arhan hanya mengangguk, lalu keluar dari kamar menuju dapur. Namun, teriakan Dishana menghentikan langkahnya. "Woi! Nanti sibuk gak? Anterin gue beli baju!"
Arhan mundur beberapa langkah hingga dirinya kembali terlihat di ambang pintu kamar. "Gue harus ke bar nanti, urus penerimaan pegawai baru. Lo telepon aja Yaura, minta dia temani lo belanja, sekalian kalau dia mau beli sesuatu."
"Asik! Gue bisa ajak Yaura abisin isi kartu ini, dong?" Dishana mengangkat kartu di tangan sambil memainkan alisnya.
Arhan yang melihat ekspresi menyebalkan itu terkekeh. Sebelum melanjutkan langkah ke dapur, dia berkata, "Coba aja kalau bisa. Yaura bukan cewek boros. Gue yakin dia bakal berceramah begitu lo ajak dia foya-foya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hah, Nikah?
RomanceDitinggal nikah. Eh, dipaksa nikah? Dishana belum sempat move-on begitu kekasihnya menikah dengan Regina Albarack, yang tak lain adalah kakak beda ibu. Dalam keadaan masih berkubang cinta masa lalu, dia dijodohkan dengan lelaki tak dikenal. "Hah, ni...