11. Rumit

41 9 0
                                    

Kecipak terdengar seiring dengan pergerakan perenang.

Dari ambang pintu, Bara melangkah lambat sebelum berhenti di tepi kolam. Dia mengawasi bayangan Dishana yang bergerak mahir di dalam air. Tubuhnya sedikit merunduk saat Dishana menyelam. Sekian detik gadis itu tak muncul di permukaan, membuatnya memanggil dengan ragu-ragu, "Disha."

Dishana terkejut mendengar suara yang sangat familiar itu. Dia terbatuk-batuk karena penahanan napasnya buyar. Gerakan paniknya membuat cipratan yang cukup heboh.

Spontan, tangan Bara terulur hendak menggapai gadis itu. Kerongkongannya tercekat hingga yang keluar hanya kata bernada lirih. "Hati-hati."

Dishana berhasil muncul di permukaan dengan napas tersengal. Butuh waktu cukup lama untuk menenangkan diri sebelum dia berbalik dan menatap kesal kepada Bara. "Papa berniat membunuhku, hah!?"

Melihat Dishana baik-baik saja di tengah kolam, Bara menegakkan punggung dan mengalihkan tatapan saat gadis itu berenang mendekat. Semakin dekat, baju renang hitam yang dikenakan Dishana tampak jelas di balik air yang jernih.

Dishana tak mau repot-repot keluar dari kolam, jadi dia menumpukan lengan di pinggiran dan mendongak ke arah Bara. "Mau ngomong apa?"

Bukannya menjawab, Bara malah berbalik dan duduk di pembatas. Dishana hanya bisa menatap punggungnya dari belakang. "Regina dan Ravif tidak bisa dihubungi akhir-akhir ini. Mungkin, Ravif akan membalas jika kamu mengiriminya pesan."

"Hp-ku disita Mama. Aku juga udah gak mau berhubungan sama dia."

Bara terdiam dan sedikit melirik Dishana yang masih dalam posisi sama. Bukan tanpa alasan dia menyuruh demikian. Dia masih ingat bagaimana Ravif mempertahankan Dishana pada malam itu, meski mereka tetap berhasil dipisahkan. Walau tak bertanya, dia tahu perasaan dua insan itu masih sama. Ini memang salahnya yang telah memisahkan sepasang kekasih yang saling mencintai. Namun, apalah daya, dia juga tak bisa mengubah keinginan William.

"Udah? Papa cuma mau ngomong itu?"

Bara menoleh dan tepat saat itu juga Dishana sedang memandangnya. Tatapan mereka bertemu. Namun, hanya sesaat. Bara segera berdiri untuk mengambil handuk dari kursi santai dan memberikannya kepada Dishana.

Dishana mengernyit tatkala kain tebal putih itu mengambang di depan wajahnya. Dia mendongak, terheran dengan perlakuan ayahnya yang asing dan sangat tiba-tiba. Kendati demikian, dia tetap menerima handuk itu. "Tumben. Kerasukan apa?"

Bara tak merespons. Dia berbalik dan melangkah tanpa menoleh lagi, meninggalkan Dishana yang kini mengamati punggungnya dalam diam. Setelah melewati pintu, dia berjalan lurus lalu menapaki tangga. Di lantai atas, ruang kerjanya terletak paling dekat dengan tangga. Ruangan itu adalah yang paling mencolok di antara ruangan lainnya karena pintu kayu berukiran spiral.

Begitu memasuki ruang kerja, ponsel dalam saku celana Bara berdering. Saat dicek, ternyata panggilan dari William. Dia segera mengangkat telepon seraya duduk di kursi. "Halo, William. Apakah mereka sudah bisa dihubungi?"

"Bara, kau tak perlu khawatir. Mematikan ponsel untuk menikmati bulan madu itu wajar. Jadi, apa kau sudah mempersiapkan hari penandatanganan merger kita?"

Bara mengalihkan tampilan layar ke room chat dengan Regina. Di sana, pesan-pesan yang dia kirim hanya centang satu, pertanda Regina tak menghidupkan data. Terakhir kali aktif pun tiga hari yang lalu. Dia tak bisa menyingkirkan rasa khawatir dan sangat mencemaskan putrinya. "Aku kenal anakku, Will. Regina bukan anak yang bisa lepas dari media sosial."

Terdengar dengkusan dari seberang. Dengan nada berat, William berbicara, "Baiklah. Lalu, apa yang kau inginkan?"

"Aku akan mulai menentukan hari penandatanganan ketika anak-anak sudah bisa dihubungi."

Hah, Nikah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang