Dua hari sejak Dishana menerima kabar perjodohan yang ia kira dirinya dengan Ravif, perasaannya sangat berbunga-bunga. Moodnya selalu baik dan itu membuat karyawan di restorannya sampai heran. Pasalnya, Dishana yang biasa banyak protes kini tidak terdengar judes. Sepanjang pagi ketika berpapasan, dia terlihat anggun dan lembut seperti baru mengalami pertukaran jiwa.
Dishana duduk di kursi dan fokus menatap laptop. Dia sedang memantau persediaan stok bahan makanan. Ruangan ini memang tidak luas karena harus terbagi dengan gudang penyimpanan bahan makanan. Perabotannya tidak banyak, hanya meja dan kursi yang dia duduki, serta kasur di pojok ruangan. Biasanya dia akan merebah di kasur saat pegal karena berlama duduk. Di samping kasur, terdapat lemari kecil yang berisi sedikit pakaian.
Dishana menutup laptop ketika pekerjaannya selesai. Dia mengambil ponsel di meja dan membawanya keluar ruangan. Lantai dua sepi, tidak ada pegawai yang melintas untuk mengambil bahan makanan di gudang yang dia lewati. Dishana menuruni tangga dengan senyum yang mengembang. Seorang wanita muda bergegas menghampiri begitu dia menapak di anak tangga terakhir.
"Untuk hari ini tutup jam enam sore, gak perlu buka malam," ujar Dishana begitu berhadapan dengan wanita itu.
Wanita yang dibalut kemeja putih dan celana hitam itu mengangguk. "Lo istirahat aja, Dish, jangan capek-capek. Gue takut lo tiba-tiba masuk RSJ karena kebanyakan aktivitas, soalnya udah ada tanda-tandanya tuh."
"Anjir lo!"
Di dada wanita itu ada nama pengenal, Sisil sebagai manager. Dia tergelak mendapat pukulan pelan di pundaknya. Dia dan Dishana merupakan teman sebangku sejak SMA sehingga hubungan mereka sudah sebaik itu. Jadi, wajar saja jika mereka bergurau di depan karyawan lain.
"Gue mau balik, deh." Dishana melambaikan tangan, kemudian segera berlalu setelah para karyawannya mengangguk. Tujuh karyawan itu mengamati punggung Dishana yang mulai menjauh. Mereka melanjutkan pekerjaan setelah Dishana melewati pintu keluar dan berjalan menuju mobilnya.
Sebuah tangan mencekal lengan Dishana yang hendak membuka pintu mobil, menariknya ke tempat yang cukup sepi sebelum gadis itu sempat memberontak. Tidak satu pun pengunjung restoran yang mengetahui hal tersebut karena gerakan si penarik yang sangat cepat.
"Lepas anj---"
Dishana menelan kata-katanya saat melihat wajah orang yang tadi menariknya. Dia berkedip tidak percaya, berusaha menyangkal jika orang di depannya saat ini adalah Ravif. Ia harus memandanginya dari atas ke bawah untuk yakin kalau orang itu benar-benar Ravif.
"Kamu kok udah pulang? Bukannya masih ada dua hari lagi, ya?" tanya Dishana, menatap heran wajah Ravif yang kusut.
"Disha, aku memberi tahumu kabar yang salah." Ravif sedikit membungkuk, memegang kedua pundak Dishana dan menatap wajah cantik itu lekat. "Yang dijodohkan denganku itu Regina, bukan kamu. Makanya aku nekat pulang walau pekerjaan di London belum selesai."
"A--apa?!"
"Kita harus gagalkan perjodohan ini, Dish."
Pelupuk gadis itu melemas, perlahan dia tertunduk dengan tatapan yang tertuju pada kakinya sendiri. Dengan perasaan putus asa, Dishana bertanya, "Bagaimana caranya? Apa dengan cara aku hamil?"
Ravif hanya diam menatap kekasihnya yang menundukkan pandangan itu. Dengan lembut menarik pinggang ramping Dishana, jari telunjuknya mengangkat dagu gadis itu, lalu memutuskan jarak antara keduanya.
Dishana mematung, tidak bergerak saat Ravif mengambil ciuman pertamanya. Bahkan saat tautan itu semakin dalam, dia hanya terpaku karena tidak tahu harus melakukan apa. Saraf-sarafnya seakan membeku menerima perlakuan dari lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hah, Nikah?
RomanceDitinggal nikah. Eh, dipaksa nikah? Dishana belum sempat move-on begitu kekasihnya menikah dengan Regina Albarack, yang tak lain adalah kakak beda ibu. Dalam keadaan masih berkubang cinta masa lalu, dia dijodohkan dengan lelaki tak dikenal. "Hah, ni...