12. Cerai ya, Ma?

34 6 19
                                    

Berita kepergian Regina telah menyebar ke seantero rumah. Seta dan Bara telah mengetahui hal tersebut. Mereka mengundang Dishana ke ruang keluarga dan membuat suasana yang tak nyaman.

"Dasar pelakor! Bisa-bisanya kamu berpelukan sama kakak ipar sendiri!" Suara Seta melengking di ruangan luas itu. Dia melotot kepada gadis urakan yang duduk di depannya. Kegeramannya memuncak ketika gadis itu malah menyandarkan punggung di sofa. Hal itu membuatnya meremas pinggiran sofa untuk melampiaskan emosi.

"Saya tahu sebelum ini kalian memang mempunyai hubungan, tapi apakah harus bermain api? Ravif dan Regina sudah menikah, setidaknya lupakanlah Ravif." Bara berbicara dengan emosi stabil. Duduknya santai dengan kaki yang menyilang. Dia lebih bisa mengatur ekspresi, tidak seperti Seta.

Dishana muak berada di sini. Dia sedang malas berdebat. Setiap yang mereka ucapkan bagaikan angin lalu yang hanya melewati lubang telinga. Saat melirik pintu pembatas, dia mendapati Liyana yang sedang berjalan mendekat dengan santai.

"Hubungan lama jangan dijadikan alasan untuk merusak rumah tangga orang, dong!" Seta kembali mencak-mencak.

"Apa cermin di kamarmu kurang besar, Seta? Bukankah kamu menggunakan alasan itu sewaktu masuk ke rumah tanggaku dengan Mas Bara?"

Wajah Seta bertambah suram saat beradu tatap dengan Liyana yang telah berdiri di belakangnya. Sementara Bara hanya melirik sekejap sebelum mengalihkan perhatian dari Liyana. Pandangannya malah mendapati Dishana yang bersedekap dada sambil tersenyum congkak, punggung yang semula bersandar malas itu menegak penuh semangat.

"Itu berbeda!" Seta berteriak seraya berdiri menantang Liyana. "Kenapa jadi bahas masa lalu, sih! Ini tentang masa depan Regina! Gak ada hubungannya sama kamu!"

"Tidak ada hubungan? Kamu pernah bilang sebelum pernikahanku dengan Mas Bara, kalian sepasang kekasih, kan? Kalian saling mencintai sampai membuatku harus berbagi suami. Sekarang hal itu terjadi pada Regina dan kamu bertingkah seolah-olah anakmu adalah tokoh yang paling sengsara? Lalu, apa bedanya denganku dulu? Posisi mereka adalah kebalikan dari kita, Seta." Liyana terdengar tenang di setiap kalimatnya. Bahkan, wanita itu tak menampakkan kemarahan sedikitpun.

Raut gembira Dishana sirna seketika. Tangannya melemas dan jatuh ke pangkuan. Dia menatap sang ibu dengan lekat. Kalimat Arhan beberapa hari yang lalu hinggap di kepalanya. Jadi benar, selama ini Liyana bertahan sebab tak ingin dirinya menjadi anak broken home?

"Mas!" Seta berbalik seraya mengentakkan kaki. Dia geram karena tidak bisa membalas Liyana dan menatap Bara untuk meminta pembelaan.

"Mas, kamu diam. Ini urusanku dengan Seta." Liyana memberi peringatan sebelum Bara meladeni Seta. Kali ini dia tidak akan membiarkan Bara ikut campur dalam perdebatannya.

"Gak bisa begitu, Mbak! Sejak dulu urusan kita harus menyangkut Mas Bara!"

Bara tak menghiraukan kedua istrinya. Dia lebih memilih untuk mengamati mata keabuan milik Dishana yang kini sedang menatap kosong.

"Sebagai pembelamu, iya? Tidak. Sekarang kita selesaikan ini hanya berdua." Liyana berusaha tetap tenang meski tangannya sudah mengepal. "Jadilah bijak dengan menyelesaikan masalah tanpa bersembunyi di belakang punggung orang lain."

Lagi, Seta mengentakkan kaki dengan kesal. Bibirnya mengatup rapat, tetapi tatapannya masih tajam. Dia mendengkus, kemudian berlalu dan dengan sengaja menabrak lengan Liyana.

Liyana terkekeh sinis melihat punggung Seta yang menjauh. Menurutnya, wanita itu tak jauh berbeda dengan remaja labil yang masih suka mengadu kepada orang tua, kekanakan. Kemudian, Liyana tersenyum. Rautnya melembut saat menggandeng tangan Dishana dan membawanya pergi dari sana. Dishana hanya mengikut tanpa penolakan. Mereka meninggalkan Bara yang masih pada posisi semula di sofa.

Hah, Nikah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang