2. Kesalahan Komunikasi

91 10 97
                                    

Liyana menepuk pundak Dishana yang terlelap di kasur. Wanita berpenampilan modis itu sesekali mendengkus, melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Di luar matahari sudah riang menampakkan cahayanya, tetapi gadis itu tak juga mau membuka mata.

"Disha sayang, bangun yuk sarapan," bisik Liyana untuk sekian kali. Bukannya bangun, gadis itu malah menggeliat membelakangi sang ibu, makin menyembunyikan tubuhnya dalam balutan selimut yang hangat. Liyana menghela napas panjang. Dia heran, kenapa memiliki anak gadis yang susah sekali bangun pagi.

"Papa ...."

Liyana yang hendak kembali mengguncang pundak Dishana mematung, raut wajahnya berubah sendu mendengar gumaman itu. Liyana menebak, saat ini Dishana sedang memimpikan Bara. Dilihat dari wajahnya yang pulas, sepertinya Dishana bermimpi sangat indah. Mungkin, di alam bawah sadarnya dia mendapat kasih sayang ayahnya.

Senyum getir hadir di bibir berwarna merah kalem itu. Selama masa kanak-kanak, Liyana tidak pernah sekalipun melihat Dishana bermain ditemani Bara. Pria itu tidak pernah menggendong putri keduanya. Bahkan, yang selalu Liyana lihat adalah tatapan iri dari Dishana ketika melihat kedekatan Bara dan Regina.

Liyana semakin merasa sesak saat teringat pertanyaan gadis kecil yang begitu mengharapkan kasih sayang ayahnya.

"Ma, kenapa Papa gak pernah gendong Dishana? Kak Regina aja setiap hari naik ke pundak Papa, pipinya dicium terus sama Papa. Kenapa Dishana enggak, Ma? Apa Papa bukan papanya Dishana?"

Liyana menyerah, dia tak mampu menahan tangisnya. Terlebih saat teringat ucapan Bara yang menunjuk jijik bayi mungil dua puluh empat tahun lalu.

"Kenapa bayimu? Tidak bisakah dia tidak menganggu pekerjaanku? Kerjaannya menangis terus, dasar pengganggu!"

"Namanya juga masih bayi, Mas. Kalau dia tiba-tiba bicara kaget kamu nanti."

"Regina tidak pernah serewel ini. Dasar anakmu saja yang menyusahkan! Sudah tidak jelas siapa ayahnya, bisanya menumpang nama di KK! Saat besar nanti suruh dia cari ayah kandungnya. Jangan pernah membuang uangku hanya untuk memberinya makan! Sepeser pun aku tidak akan rela."

"Dia anakmu, Mas! Kamu masih tidak percaya?"

"Aku tidak pernah menyentuhmu, Liya. Pernikahan kita hanyalah perjodohan, mungkin saja kamu membalas selingkuh mengetahui aku selingkuh."

Liyana menengadah melihat langit-langit kamar, dari kedua matanya mengalir deras air bening. Bara tidak ingat saja, malam itu dia mendatangi Liyana dalam keadaan mabuk yang berakhir hadirnya Dishana.

Pandangan wanita itu kembali mengarah kepada Dishana, memperhatikan bagaimana bahagianya anak itu dibalut mimpi. Pasti di sana Dishana sedang digendong Bara, impian yang tak pernah gadis itu dapatkan sejak kecil.

Liyana tidak mau menganggu kebahagian Dishana dalam mimpinya. Walau saat bangun nanti gadis itu akan merasa kecewa, setidaknya Dishana pernah merasakan kasih sayang Bara meski hanya dalam mimpi.

Wanita itu berdiri, menuju balkon untuk membuka tirai agar cahaya matahari bisa masuk, lalu mematikan lampu kamar dan menyalakan AC agar anaknya tak merasa gerah. Setelah menghapus bersih air matanya, Liyana keluar dari kamar Dishana yang bisa dibilang berantakan itu.

Liyana sampai di ruang makan. Di sana sudah ada tiga orang yang sedang menikmati sarapan. Yaitu Bara, Regina dan Seta. Tanpa menyapa, Liyana menarik kursi untuk duduk.

"Pemalas itu belum bangun?" tanya Bara kepada istri pertamanya. Pria yang sudah rapi dengan setelan kerjanya itu menikmati roti dengan lahap.

Tanpa menjawab pertanyaan Bara, Liyana mengambil roti yang sudah dipanggang, lalu mengolesnya dengan selai kacang. Di samping piring wanita itu tersedia segelas susu yang sudah mulai dingin. Liyana tampak tenang meski hatinya geram mendengar putrinya disebut pemalas.

Hah, Nikah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang