8)

6 0 0
                                    

Dera mengobati Ja pelan-pelan dengan kapas yang diberi air, sesekali Ja menggigit bibir karena sakit. Setelah itu Dera, mengambil kapas baru dan memberinya alkohol lalu mengobati pipi Ja yang biru.

"Kamu kok bisa gini? Siapa yang giniin?" Dera bertanya, wajahnya sangat khawatir. Ja tidak menjawab, hanya meringis.

Dera menghela napas.

"Besok kan libur, kamu obatin lukamu sendiri di rumah dan ganti plester baru setelah diobatin." Dera dengan hati-hati menempelkan plester warna putih.

"Maunya diobatin kamu." balas Ja. Dera terdiam sebentar, jantungnya sempat berhenti berdetak. Wajahnya memerah, tapi saat ini bukan saatnya untuk senang. Dera menggelengkan kepala.

"Nggak, kalo sama aku harus nurut." ucap Dera. Ia selesai menempelkan plester di wajah Ja.

Ja yang awalnya tidak memiliki ekspresi langsung sedih, Dera yang melihatnya terkejut. Pertama kali ia melihat Ja sedih di hadapannya. APASIH ORANG INI SEDIH TAPI MASIH GANTENG AJA YA.

Dera tidak bisa melawan wajah Ja, ia menghela napas,"Yaudah anak manja, besok ke rumahku. Masa minta diobatin, nggak pernah ngobatin lukamu sendiri?" Dera mencibir.

Ja menggeleng,"Nggak pernah, biasanya cuma cuci muka. Soalnya nanti lukanya hilang sendiri." Ucapan Ja membuat Dera terdiam. Biasanya? Dia udah sering kayak gini? Seburuk itukah hidupnya?

Dera menatap Ja, lalu bertanya,"Kalau kamu sedih, kamu pernah nggak dateng ke orang terus dipeluk?" Ja menatap Dera bingung, memiringkan kepalanya sedikit lalu menggeleng.

Astaga, Ja sejak kecil tidak pernah mendapat kasih sayang. Dera bergumam dalam hati.

"Dulu sering kayak gini kondisi wajahku Der, capek tapi mau gimana lagi? Nggak ada yang merhatiin aku, Der." ucap Ja, Dera terkejut.

"Der, bentar aja, ya?" ujar Ja tiba-tiba, Dera bingung maksud Ja. Ja mendekatinya, lalu memeluk erat. Mengistirahatkan kepalanya di pundak Dera. Dera terkejut dengan kelakuan Ja, terdiam sebentar lalu membalas pelukannya.

Tak lama, Dera merasa bajunya basah. Is he crying? Dera bergumam, ia terkejut.

"Makasih Der, makasih. Maaf aku hari ini nggak keren dihadapan mu. Aku ngecewain," ucap Ja, Dera mengelus punggung Ja. Memberi kehangatan yang Ja tidak pernah dapatkan dari dulu.

"Kata siapa aku kecewa? Kamu selalu keren, kok, hehe." balas Dera, ucapan Dera membuat hati Ja sangat senang. Baru pertama kali seseorang mengatakan hal itu kepadanya, air matanya kembali mengalir.

Selama 30 menit Ja menangis, selama 30 menit juga Dera masih setia menunggu. Dera tidak melepaskan pelukannya sampai Ja melepaskan pelukannya.

Air mata Ja masih mengalir, matanya merah. Dengan halus, Dera mengusap air matanya. Lalu tersenyum ke arahnya.

"Mau kamu kayak gimana pun, di mataku kamu selalu keren Ja." ucap Dera sambil menyeringai, hati Ja berbunga-bunga melihat Dera. Ja merasa seperti orang yang paling beruntung sedunia—padahal pacaran aja enggak, udah ngerasa beruntung—

^^^^^

Rena masih setia menunggu duduk di tembok sambil menghisap rokok, toh, semua orang sudah pulang. Untuk apa ia merokok diam-diam?

Dera datang menghampiri Rena,"Rena, kamu kan udah kubilang buat nggak ngerokok!" omel Dera, Rena berdiri acuh tak acuh. Ia menjatuhkan rokoknya dan menginjaknya.

"Noh, tas lo. Syukur-syukur lo punya temen kayak gua." ucap Rena, ia memberikan tas Dera dengan tangan dan menendang tas Ja.

Rena menatap Ja jutek, mengancam Ja jikalau Ja berani main-main dengan perasaan Dera maka Rena akan menghabisi Ja. Ja juga balas menatap sinis Rena.

Dera yang selesai memakai tasnya di pundak menghadap ke arah Rena dan Ja, bingung apa yang mereka lakukan. Membuat mereka berdua tersenyum ke arah Dera, seolah mereka tadi tidak gelut mata.

Dera berkacak pinggang dan tersenyum mantap,"Kita pulang!" ia menunjuk ke depan, membuat mereka bertiga layaknya seperti trio norak—atau hanya Dera yang terlihat norak—

"Gua nyesel parah Der cuma punya lo." gumam Rena, Ja hanya menatap Dera sambil tersenyum.

^^^^^
Kritik saran komen aja yaa

Perspektif DeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang