04 ✾ A Coincidence

212 132 119
                                    

     AURA mistis terpancar dari bangunan dua lantai yang sudah bertahun-tahun terbengkalai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     AURA mistis terpancar dari bangunan dua lantai yang sudah bertahun-tahun terbengkalai. Lama tidak terawat membuatnya tampak usang serta ditumbuhi banyak rumput dan semak belukar. Ini sungguh menyeramkan bagi Prila, gadis penyuka horor yang penakut. Ia sampai menelan salivanya dengan sedikit upaya bersama jantung yang tiada henti berdegup kencang.

“Lex, sebenernya kita ke sini mau ngapain? Mau uji nyali atau mau uji soal aku yang punya indera keenam?” tanya Prila dengan ekspresi takut dan perasaan was-was.

“Apa yang buat kita penasaran, ya itulah tujuan kita, Cantik.”

Kata akhir yang Lex ucapkan sukses membuat semburat merah menghiasi pipi Prila. Terlebih dengan tamparan senyuman manis Lex, Prila hampir salah tingkah dibuatnya. Dalam situasi seperti inilah gadis itu jadi teringin menghilang dari dunia walau setidaknya hanya sekejap mata.

“Orang-orang bilang tempat ini angker. Siapa tau di dalemnya beneran ada hantu, 'kan bisa buat uji kamu punya indera keenam atau enggak,” ujar Lex memaparkan sedikit gamblang.

“Huaa ... kita berdua emang beda dari yang lain, ya. Di saat orang-orang pada nyari uang, pacar, atau ketenaran, kita malah nyari hantu.”

Merengek seperti anak kecil dengan mimik wajah cemberut, Prila memilin tali dress berwarna peach yang ia kenakan. Netranya tak henti menatap ke sana kemari demi mewaspadai segala hal yang mungkin saja akan terjadi.

“Hei, kenapa kamu takut?” balas Lex disertai kekehan. “Apa kamu lupa kalau kamu sekarang lagi berhadapan dan ngomong sama hantu?”

“Ya tapi, 'kan, perawakan kamu enggak serem. Justru yang ada kamu itu ganteng dan manis.”

Dipuji sedemikian rupa, Lex kembali menampilkan salah satu daya tariknya. Menggemparkan hati Prila yang lantas mengalihkan pandangan karena saking tak kuasa. Dia jadi berpikir, apa pemuda itu tidak bisa jika tidak tersenyum sehari saja?

“Enggak, aku enggak mau!” ujar Prila ketika Lex mengajaknya masuk ke dalam bangunan angker itu. “Gimana kalau hantunya kepalanya buntung, matanya enggak ada satu, atau mungkin bibirnya sobek? Aaa ... pokoknya aku enggak mau, titik!”

Baru saja akan menanggapi pemikiran Prila yang menurutnya berlebihan, Lex sedikit terkejut saat mendapati sosok yang menjadi alasan mengapa bangunan ini disebut angker. Rupanya itu bukan hanya konon semata, tetapi benar-benar nyata.

“Jangan noleh ke belakang sebelum aku hitung sampe tiga,” peringat Lex tanpa beralih menatap sosok yang juga tengah memandang ke arahnya.

“E-emang kenapa? Ada apa?” Prila tetap bertanya walau tahu apa maksud Lex sebenarnya. Karena melihat dari ekspresi pemuda itu, Prila yakin dia tidak berbohong hanya untuk sekadar menjailinya.

“Dengerin aku. Ini kesempatan kita untuk tau apa kamu punya indera keenam atau enggak. Dalam hitungan ketiga kamu harus noleh ke belakang.”

Penolakan langsung Prila utarakan melalui gelengan kepala. Ia sungguh tak kuasa jika benar bisa melihat sosoknya. Namun, pada akhirnya keyakinan Lex berhasil membuat Prila bersedia menoleh ke belakang setelah hitungan ketiga. Alhasil, gadis itu langsung menghela napas lega karena tak mendapati sosok apa pun di sana.

“Bener kamu enggak bisa liat?” Lex bertanya memastikan seolah tak percaya. “Coba kucek mata kamu terus liat lagi.”

Ih, Lex, jadi kamu masih enggak percaya?” Prila berkacak pinggang dengan raut kesal. “Kalau aku emang punya indera keenam, pasti udah dari lama aku bisa liat hantu. Kamu nih ngeyel banget, deh.”

Tak menghiraukan dumelan Prila yang berakting bak seorang aktris, Lex menarik gadis itu lantas membawanya pergi dari sana. Pasalnya sosok penghuni bangunan angker tersebut berjalan mendekatinya dan Prila. Jujur saja, Lex mengaku takut padanya walaupun dunia mereka sama.

•••

Di bawah naungan langit malam berhiaskan rembulan tanpa bintang, Lex duduk di kursi yang tersedia di taman. Atensinya beralih saat Prila datang dengan langkah mengendap-endap serta membawa sesuatu di kedua tangan.

“Ini buat apa?” tanya Lex dengan raut heran seraya menunjuk mangkuk tanah berukuran kecil berisi kemenyan dan kelopak bunga mawar merah yang gadis itu letakkan di tengah-tengah mereka.

“Aku bawain ini buat kamu makan.”

“Hah?” Lex ternganga sesaat lalu menampilkan ekspresi sedikit kesal. “Kamu ngeledek aku, ya?”

Prila langsung menggelang keras. “Enggak. Bukan gitu. Aku laper belum makan, jadi aku ke sini bawa makanan.” Ucapannya terjeda karena menghalau asap kemenyan yang menyala dan mengeluarkan aroma wangi. “Tapi aku enggak enak kalau makan sendiri, jadi aku bawain makanan juga buat kamu.”

Lex menepuk dahi. “Jangan bilang karena aku hantu makanya kamu ngira aku makan kemenyan sama kembang?” ujarnya yang membuat mata Prila mengerjap polos. “Asal kamu tau, Cantik, hantu itu enggak bisa makan apa pun.”

Prila diam tak berkutik dalam waktu yang cukup lama. Memang benar, ia menganggap kemenyan dan kembang sebagai makanan para hantu. Akan tetapi rupanya hal itu salah. Mungkin inilah akibat karena Prila terlalu sering menonton film horor.

“Maaf, ya, aku salah.” Gadis itu menyesalinya lalu hendak mematikan kemenyan yang menyala. Lex menghentikannya dan berkata biarkan saja karena kebetulan malam ini adalah malam Jum'at Kliwon. “Kata orang-orang di malam ini hantu lebih banyak berkeliaran,” ucap Prila yang seketika merinding.

Netranya bergerak mengawasi keadaan sekitar dengan perasaan was-was. Karena meskipun ia tidak bisa melihat mereka, tetap saja Prila merasa takut. Memang benar yang duduk di sampingnya saat ini adalah hantu, tetapi ingat, Lex itu berbeda. Bahkan menurut Prila dia adalah hantu yang tidak memiliki martabat sebagai hantu.

“Ulang tahun kamu kapan?”

Gadis yang kelaparan itu menelan makanannya lebih dulu sebelum menjawab. “Udah lewat. Dua bulan yang lalu, tanggal enam belas.”

“Maksud kamu tanggal enam belas Maret?” Lalu Lex terkekeh usai Prila membalas dengan sebuah anggukan. “Aku juga lahir di tanggal dan bulan itu.”

Dari raut wajahnya yang berseri, Prila tampak gembira mengetahui fakta tersebut. Andai Lex bukan dari dunia yang berbeda, mereka pasti bisa merayakan ulang tahun bersama. Kenyataan pahit itu yang lantas membuat kebahagiaan Prila sirna.

Ih, kenapa kamu senyum?” tanya Prila tatkala mendapati Lex tiba-tiba tersenyum. “Ya aku tau kamu emang murah senyum, tapi kalau mau senyum juga harus kenal situasi dan tempat.”

“Liat itu.” Lex menunjuk ke arah burung hantu yang bertengger di dahan pohon. “Kamu tau? Buat aku dan keluarga, burung hantu adalah lambang kehidupan. Karena dulu aku lahir jam dua belas malem di saat ada suara burung hantu.”

“Hah, apa?” Terkejut, Prila berhenti mengunyah dan beralih menatap Lex dengan pipi yang sedikit mengembung karena makanan. “Kok kita sama lagi, sih? Ayahku bilang, aku juga lahir jam dua belas malem pas ada suara burung hantu.”

Satu lagi fakta yang lebih mengejutkan. Sungguh tidak terduga dan menciptakan seutas dugaan.

“Apa jangan-jangan persamaan ini yang buat kamu bisa liat aku?”

Mungkin hal itu memang ada benarnya. Bahkan setelah ditelisik lebih dalam, mereka bukan hanya lahir di tahun, tanggal, bulan dan waktu serta situasi yang sama. Akan tetapi juga dengan hari dan golongan darah yang sama pula. Sebuah persamaan yang bisa dikatakan cukup langka.

The Same Thing • Lex (렉스)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang