09 ✾ Proof

136 81 30
                                    

     UNTUK pertama kalinya Prila datang ke Cafe Zone yang terletak di sudut timur asrama, bertujuan menemui Dhea dan Leo yang katanya ingin membicarakan perihal penting

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     UNTUK pertama kalinya Prila datang ke Cafe Zone yang terletak di sudut timur asrama, bertujuan menemui Dhea dan Leo yang katanya ingin membicarakan perihal penting. Di mata orang gadis itu memang datang seorang diri, padahal sebenarnya dia bersama Lex yang senantiasa menggandeng tangannya.

Dari kejauhan Prila menangkap sosok muda-mudi yang tengah bercengkerama sembari menunggu kehadirannya. Gadis itu menyapa kemudian duduk di salah satu kursi yang tersedia. Sementara Lex memilih untuk tetap berdiri di samping Leo karena tidak mau membuat orang syok melihat kursi yang bergerak sendiri saat ia menariknya.

Suasana hening sempat menguasai kala Prila dan Leo saling melempar tatapan dingin. Hal ini sebab pertengkaran kecil di antara mereka yang terjadi beberapa waktu lalu. Dhea lantas membuyarkan keheningan itu dengan menawarkan minum pada Prila, tetapi gadis yang ditawari meminta mereka untuk langsung to the point saja.

“Lo kenal Lex?”

Pertanyaan bernada intimidasi dari Leo itu sukses membuat Prila maupun Lex tertegun dan spontan saling menatap satu sama lain. Tidak mungkin dia bertanya jika bukan tanpa sebab. Terlebih lagi hal ini menyangkut seseorang yang dinyatakan hilang secara misterius.

“Lex? Lex siapa?” Tidak seperti biasanya ketika menjadi aktris dadakan, kali ini akting Prila tidak sempurna dan gagal membuat percaya.

“Jangan bohong! Tadi gue denger lo ngomong sambil nyebut nama Lex, jadi kalaupun enggak kenal setidaknya lo tau dia. Iya, 'kan? Ngaku!”

Tidak terima pacarnya dikasari sedemikian rupa, Lex mendelik ke arah Leo lalu menjewer telinga pemuda itu. Berbeda dengan Dhea yang bingung melihat Leo meringis kesakitan, Prila berupaya menahan tawa akan hal lucu di depan mata.

“Barusan, barusan ada yang jewer aku,” ucap Leo saat Dhea bertanya kenapa setelah Lex melepas jewerannya. Tentu ungkapannya tersebut tak bisa dipercaya karena tidak masuk akal. “Serius, Yang, ada yang jewer barusan. Sumpah, sakit banget.”

“Kamu pasti halusinasi karena kecapean. Udah, ah. Balik ke topik awal soal Lex.”

Leo merengut kesal dan kembali menatap Prila sambil memegangi telinganya yang terasa nyeri. Saat itulah Lex meminta Prila untuk mengatakan yang sejujurnya. Soal mereka percaya atau tidak, Lex bilang itu biar menjadi urusannya nanti.

Okay, aku emang kenal Lex. Tapi tolong kalian jangan salah paham. Aku enggak tau apa yang sepenuhnya terjadi sama Lex. Aku cuma tau dia udah meninggal dan arwahnya gentayangan.”

Brakk..

Lex urung memprotes kata gentayangan yang Prila ucapkan karena tindakan Leo menggebrak meja dengan cukup keras hingga mengundang atensi beberapa pasang mata di sekitar mereka.

“Lo jangan ngomong sembarangan, ya! Gue bisa laporin lo ke polisi!”

“Atas dasar apa lo laporin cewek gue ke polisi dan apa buktinya?” ujar Lex yang lagi-lagi menjewer telinga Leo karena merasa tidak terima.

“Kamu ini kenapa, sih? Jangan bikin malu, deh. Kita diliatin banyak orang tau,” cicit Dhea sembari memandang ke sekeliling di mana hampir semua orang menatap ke arah mereka, khususnya pada Leo yang tengah meringis kesakitan.

“Lex, udah. Lepasin. Kasian Leo.”

Dhea beralih memandang Prila saat mendengar gadis itu berucap demikian dengan nada sedikit berbisik dan tatapan yang mengarah pada ruang kosong di samping Leo. Sementara Lex langsung melepaskan jewerannya tanpa merasa bersalah.

“Kamu ngomong sama siapa? Aku enggak salah denger, ya, barusan itu kamu nyebut nama Lex.”

Prila tidak tertegun mendapat pertanyaan seperti itu dari Dhea. Toh, ia bertujuan mengatakan yang sebenarnya pada mereka. Hanya saja tempatnya yang ramai membuat ia tidak bisa leluasa bicara.

“Ayo. Kita lanjut bahas ini di tempat lain.”

•••

Lalu, di sinilah mereka berada sekarang. Taman asrama. Tempat yang sering kali sepi di setiap waktu. Ketiga manusia dan si sosok tak kasat mata berdiri saling berhadapan. Berbeda dengan Prila yang tampak tenang, Lex justru terlihat waspada dan mengambil ancang-ancang jika Leo kembali bertindak kasar pada kekasihnya.

“Kalian enggak salah denger. Aku emang nyebut nama Lex karena aku lagi ngomong sama dia.”

Leo dan Dhea terkejut hingga saling melempar pandangan dengan tatapan bingung. “Tapi Lex nya di mana?” Mereka bertanya serempak.

“Waktu di kafe tadi Lex berdiri di samping Leo, kalau sekarang dia ada di sebelah aku.”

Sepasang kekasih itu menatap ke arah samping Prila yang tentu di penglihatan mereka tidak ada siapa pun. Prila lantas menjelaskan bahwa Lex bukan lagi manusia dan hanya ia seorang yang bisa melihat dan berkomunikasi dengannya.

“Aku tau ini sulit untuk kalian percaya, tapi inilah kenyataannya. Kalian inget waktu aku bilang lagi niruin adegan drama? Itu cuma alasan. Yang sebenernya aku lagi ngomong sama arwahnya Lex.”

“Terus kenapa cuma lo yang bisa liat arwahnya Lex?” Leo mengajukan pertanyaan yang dikira akan membuat gadis itu tak dapat berkutik.

“Enggak tau jelasnya gimana. Tapi kita menduga kalau hal ini terjadi karena aku sama Lex lahir di tahun, bulan, tanggal, hari, dan jam yang sama.”

“Gue enggak percaya. Lo bohong.”

Oh, ya ampun ....” Seolah frustrasi, Prila menepuk pelan dahinya kemudian beralih menatap Lex. “Ini gimana? Kamu jangan diem aja. Lakuin sesuatu, dong, biar mereka percaya sama aku.”

Lex menggaruk kepalanya, bingung. Ia menatap tak tentu arah sembari memikirkan sebuah solusi. “Cantik, coba bilang ke Leo kalau yang jewer dia tadi aku. Dan aku lakuin itu karena enggak terima kamu dikasarin sama dia.”

Ah, bener!” Satu kali tepukan tangan Prila yang mendadak antusias sedikit mengejutkan Leo dan Dhea yang tak lepas mengamati gelagatnya. “Leo, yang jewer telinga kamu tadi itu Lex. Dia lakuin itu karena enggak terima aku dikasarin sama kamu.”

Sepasang kekasih itu kompak ternganga. Leo mulai dibuat percaya sebab apa yang ia alami benar-benar nyata. Berbeda dengan yang Dhea kini memijat pelipisnya karena merasa pening.

“Aduh, La, sumpah, kamu tuh bikin kita bingung.”

“Ngapain bingung, sih? Kalian tinggal percaya aja sama aku. Gitu aja kok repot.”

“Gimana kita mau percaya, kalau apa yang kamu omongin ini enggak masuk akal dan enggak ada bukti yang jelas?”

Prila sungguh geram. Dengan emosi yang sedikit menggebu, ia meminta Lex mengambil pot bunga yang terletak tak jauh dari mereka. Di mata Leo dan Dhea, potnya pasti terlihat melayang sendiri. Mungkin dengan cara itu mereka akan percaya.

Patuh, Lex bergegas melakukannya. Tentu Leo dan Dhea terbelalak saat melihat pot itu melayang di udara. Bahkan Dhea tampak ketakutan sampai bersembunyi di balik punggung sang kekasih.

“Jadi gimana? Kalian masih enggak percaya?”

Leo dan Dhea tidak menjawab. Mereka saling melempar pandangan seolah bertanya tentang keputusan satu sama lain. Lex dan Prila yang melihatnya menghela napas sedikit gusar lalu secara kompak bergumam dalam batin.

Awas aja kalau masih enggak percaya.

O-okay. Sekarang kita percaya, La.”

Ungkapan yang sesuai harapan. Lex dan Prila tersenyum lega. Gadis itu lantas meraih satu tangan Dhea dan mengucapkan terima kasih karena mereka telah mempercayainya.

“Astaga!” Tiba-tiba pacar Leo itu terkejut dengan pupil mata yang melebar. “Kok aku bisa liat Lex?”

The Same Thing • Lex (렉스)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang