Eight : The Venom

135 19 0
                                    

Tina berdiri di samping jendela kamar yang sedikit terbuka membiarkan angin dingin masuk, pemandangan dari sana cukup mengesankan namun menyeramkan kala malam datang. Ada banyak sekali pohon cemara tinggi, putih di sebagian dahan akibat salju. Ia tersenyum dengan ponsel yang berada di genggaman kala sebuah panggilan masuk, ponsel pintar itu ia letakkan di telinga kiri sebelum menyandar ke dinding jendela.

"Hi, my baby girl"

"Hi, mommy"

"Apa kabar-mu, sayang? Apa disana menyenangkan, hm?"

"I'm good, disini cukup menyenangkan tapi akan lebih menyenangkan jika mommy juga disini bersama-ku"

"I really want too but i'm so sorry, kau tahu mommy tak bisa"

Tina menghela nafas, meniup sebelah kepalan tangan yang terasa dingin.

"I know, kapan pasti-nya pernikahan mommy dilaksanakan?"

"Next week, kau akan datang untuk mommy, kan?"

"I will, mom"

"Glad to hear it, mommy tutup dulu, okay? I have a work to do"

"Okay"

"Jaga diri, sayang, i love you so much"

"Mommy juga jaga diri, i love you too"

Tut

Tina menunduk menatapi ponsel itu untuk beberapa saat, Irene akan menikah lagi dan Tina berharap calon suami sang mommy akan bisa menggantikan posisi yang pernah ditempati Sean dengan baik. Tina tak pernah melarang sang mommy untuk menikah lagi, ia mendukung apapun yang Irene lakukan sebab Irene sendiri tak pernah mengekang Tina. Sebenarnya, ada secuil harapan di hati Tina agar Irene-Sean dapat kembali bersama namun sepertinya itu tak akan pernah terjadi. Tina menutup mata sejenak ketika sebuah angin pelan menerpa wajah cantik-nya, ia menyimpan ponsel ke saku jaket dan kembali menatap ke luar jendela.

Grep!

Sepasang lengan memeluk Tina dari belakang, si gadis tak kaget dan hanya melirik sekilas ke belakang.

"Kenapa dengan wajah murung domba kecil-ku ini, hm?" Bisik Hans.

"Wajah murung? Apa aku terlihat murung?" Tina bingung.

"Ya" Hans mengangguk, ia menempatkan dagu di bahu Tina yang kembali tersenyum mengelus lengan kekar Hans.

"Mommy akan menikah, she wants me to attend at her wedding day next week" ujar Tina. Hans kini paham kenapa Tina terlihat tak bersemangat.

"Kau ingin kedua orang tua-mu berbaikan, hm?" Gumam Hans.

"Sangat ingin, Hans" sahut Tina.

"It's your parrents destiny, little sheep, kau bisa saja menginginkan sesuatu namun tak bisa memaksa jika bukan itu garis takdir-nya. Takdir kedua orang tua-mu hanya sampai disini, mereka telah memiliki-mu sebagai bukti kalau mereka pernah saling sayang sebelum ini" Hans berujar pelan, ia mengeratkan pelukan-nya.

Tes

Sebulir airmata lolos dari manik abu-abu Tina, ia menutup mata erat dan menekan kedua bibir mendengar setiap kata yang Hans lontarkan. Benar. Garis takdir itu tak bisa dirubah, Hans juga benar kalau kehadiran dirinya ke dunia adalah bukti nyata kalau Irene-Sean pernah saling sayang sebelum ini. Tina terenyuh, ia ikut bahagia jika Irene bahagia dengan pilihan-nya sekarang namun tak menutup fakta kalau ada yang berdenyut di relung dada mengetahui Irene tak berniat untuk kembali pada Sean.

"Hey.." Hans mengurai pelukan, ia melangkah ke sebelah Tina dan memegangi kedua bahu si gadis agar menghadap-nya.

"Jangan menangis, aku tidak suka melihat airmata di wajah cantik ini" ujar Hans, jemari dingin si pria menghapus pelan aliran sungai di pipi chubby Tina.

[✔️] ECLIPSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang