- pertemuan -

4.5K 133 1
                                    

Happy reading!

Tya termenung memikirkan ia harus gimana sekarang. Rora melarangnya untuk datang ke pernikahan Riki dan Sindi, namun di lain sisi Tya juga tidak mau menjadi gadis yang lemah di hadapan mereka.

"Kamu kenapa nak, kok kelihatannya ngelamun... terus?" tanya bunda Serena mendekati putrinya yang akhir - akhir ini kelihatannya banyak melamun. Seperti ada pikiran berat.

Tya menoleh. "Enggak bun, gak kenapa - napa. Ini cuma lagi mikirin, bagusnya kapan aku lounching baju keluaran terbaru dari SasyaHijab." jawabnya berbohong.

Bunda Serena tersenyum. "Tumben banget, biasanya setiap keluaran terbaru kamu lounchingin hari jum'at. Besok hari jum'at, kenapa gak besok aja?"

Ah, iya juga. Bundanya memang selalu ingat dengan semua ucapannya. "E-eh iya juga ya bun, aku lupa kalau besok hari jum'at," balas Tya menggaruk tengkuknya gugup.

"Kamu kenapa, ada yang ganggu pikiran kamu ya?" tanya bunda Serena mengusap punggung tangan putrinya.

Tya langsung menggenggam tangan bundanya. "Ada, tapi bunda gak perlu khawatir, itu cuma masalah kecil. Oh iya, teman aku ada yang nikah hari ini, aku mau datang nanti malam sama Rora. Soalnya, sekarang Rora masih ada urusan."

Bunda Serena mengangguk. "Boleh, pulangnya jangan malam - malam. Gimana kabar Rora, sehat kan? Bunda udah lama gak ketemu dia, jadi kangen."

Tya tertawa pelan. "Rora sehat. Dia sibuk bun, kalau telepon aku juga jam 9 ke atas. Jam segitu kan bunda udah tidur. Jadi kalian jarang ngobrol jarang ketemu deh."

Beberapa detik mereka terdiam. Sampai suara bunda Serena memecahkan keheningan itu. "Kamu... Sudah punya calon, nak?"

"Belum bunda. Aku belum kepikiran cari calon dulu. Aku mau bahagiain bunda sama ayah dulu," jawab Tya tersenyum pada bundanya.

Bunda Serena mengangguk paham. "Kamu gak pernah cerita tentang percintaan kamu ke bunda, jadi bunda gak tahu. Kalau boleh tahu, putri bunda ini pernah gak sih suka sama cowok?" tanyanya sambil menjawil dagu Tya membuat sang empu terkekeh geli.

"Pernah bunda, tapi sekarang udah punya istri," jawab Tya lalu tertawa.

"Tapi kamu gak dendam atau menyalahkan takdir kan nak?"

"Ya enggak dong, bunda. Kan kata bunda kita tidak boleh menaruh dendam kepada orang lain. Dan juga, apa yang kita rasakan semuanya hanya tentang takdir. Mungkin takdir aku kayak gini, jadi terima aja dengan lapang dada. Kalau jodoh gak bakal kemana kan bun?."

Bunda Serena mengangguk. "Iya, kalau jodoh gak bakal kemana."

"Kemarin bunda ngobrol loh sama umi," ujar bunda Serena memberi tahu. Sebutan 'umi' itu untuk uminya Rora. Mereka memang sedekat itu. Sudah seperti keluarga.

"Oh ya, ngobrolin apa?" tanya Tya.

Sekilas tentang mereka yang kini sudah layaknya keluarga. Dulu, bunda Serena dan umi Yanti tidak saling kenal, namun karena putri mereka yang selalu menceritakan satu sama lain, jadi kini mereka berteman sangat baik. Intinya, mereka berteman berawal dari putri mereka yang berteman. Bukan karena bunda Serena dan umi Yanti berteman, Tya dan Rora berteman.

"Katanya umi lagi bingung, cari ibu susu buat cucunya."

"Loh, maksudnya?"

Bunda Serena mengangguk. "Mas Fathan sama istrinya sudah bercerai, hak asuh anak mereka jatuh ke tangan mas Fathan karena istrinya memang benar - benar gak mau ngurus anak mereka. Cucunya masih umur 5 bulan, kan umur segitu masih butuh asi yang banyak buat pertumbuhannya. Ada susu formula, tapi sayangnya dia alergi susu semacam itu, turunan dari ibunya. Itu yang buat umi Yanti bingung dan minta bantuan sama bunda untuk carikan ibu susu buat cucunya."

ibu sambungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang