What about him

1K 222 13
                                    

Ben benar-benar berlari saat sebuah rubicon yang mengantar Melissa sampai di pekarangan mansion. Ia dengan sigap membuka pintu mobil tinggi tersebut kemudian mencelos saat menemukan Melissa yang menangis dengan mata membengkak dan tangan terbalut perban.

Ben mengulurkan kedua tangan ke depan lantas menggendong Melissa dengan hangat. Tidak ada yang lebih ia inginkan selain menenangkan wanita terguncang ini dengan penuh kasih sayang—Melissa tidak pantas melihat dan merasakan kekerasan.

Ia menaiki undakan tangga untuk naik ke kamar Sang Bos kemudian merebahkan Melissa di atas tempat tidur.

“Hikh Paman,” isak Melissa.

Ben mengetatkan rahang, memeriksa lengan Melissa yang telah terbalut perban namun masih mengeluarkan banyak darah.

“Paman … Jeon.”

Ben mengangkat kepala menatap Melissa. “Dia baik-baik saja.”

Melissa tersedu, tangisnya terputus-putus. “Jeon … ada banyak suara tembakan … Jeon …aku takut Jeon tertembak.”

Ben menggeleng cepat. “Jangan berpikiran yang tidak-tidak, kami tidak akan menjadikannya pemimpin kalau dia mudah tewas.”

Air mata Melissa masih berderai, kelopak matanya yang membengkak terlihat menyedihkan. Ben menebak bahwa wanita ini tidak berhenti menangis selama perjalanan.

Ssssttt.” Ben mengusapkan telunjuknya mengusap air mata Melissa. “Dia akan marah kalau melihatmu menangis.”

Ben mencoba menarik senyum agar tangisan Melissa mereda, tapi sangat yakin bahwa itu tidak mampu melembutkan tatapannya yang nyaris selalu tampak tajam dan keras. Tapi setidaknya ia sudah mencoba—ia ingin Melissa tahu bahwa ia ada di sini, ia bisa menjaga wanita itu sebagaimana Jeon-Jonas menitipkannya.

Baru setelah tangisan Melissa mulai mereda, ia berhati-hati membuka perban yang membalut lengan wanita itu lantas menggertakkan gigi karena luka yang didapatkan Melissa cukup parah.

“Perbannya harus diganti,” ujarnya setengah mendongak.

Melissa mengangguk, Ben berdiri, sekilas menyeka air mata wanita itu lalu beranjak mencari kotak obat.

***


Nevan yang tengah memeriksa ponsel tersentak ketika Ben mendorongnya dengan semena-mena.

“Apa saja yang kau lakukan di sana, hah?”

Nevan menaikkan alis tidak paham. “Apa maksudmu?”

“Kau disuruh menjaga Melissa tapi kau membiarkannya terluka, kau tolol?”

Nevan menenggelamkan kedua tangannya ke saku celana lantas tersenyum remeh pada Ben. “Cara bicaramu membuat kepalaku sakit sialan,” desisnya.

Nyaris secepat kilat, Ben menarik kerah pakaian Nevan lantas meninju telak wajah pria itu hingga hidungnya mengeluarkan darah.

“Tidak becus berengsek, mati saja sampah sepertimu!”

Nevan hendak balas meninju Ben namun Hank muncul entah dari mana dan merelai keduanya.

“Dasar Ben tolol! Kalau mengkhawatirkan Melissa jangan sampai melampiaskan kemarahan pada orang lain,” tekan Hank.

“Kau juga pergi sana.” Ia mendorong Nevan menjauh. “Kalian sama-sama tolol.”

Ben memutar kepalanya yang tegang ke kiri dan ke kanan lantas masuk kembali ke dalam kamar Sang Bos yang kini ada Enna juga di sana.

Wanita paruh baya itu tengah menyuapi Melissa makan, juga dengan sengaja membuat cerita konyol agar Melissa tersenyum. Ben hanya bersandar di daun pintu, memperhatikan Melissa dengan lekat lalu tersenyum tipis kala wanita itu mulai terkekeh saat Enna mengoceh.

BABY PINKYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang