He Promised

980 240 18
                                    

Di dalam limousine yang menjemput mereka, Enna melirik Melissa yang memeluk boneka simba di tangannya. Tidak banyak barang yang ingin dibawa wanita itu, hanya beberapa potong baju, beberapa jepitan dan barang pemberian Jeon-Jonas dan juga pakaian pria itu.

Enna sempat bertanya mengapa Melissa harus membawanya. Melissa menjawab bahwa pria itu akan menyusul, Melissa perlu membawa pakaian tersebut agar Jeon-Jonas tidak kerepotan saat memilih pakaian.

Sejujurnya—Enna tahu bahwa Jeon-Jonas tengah terluka, atau mungkin sekarat, entahlah. Ia mendengar Ben bicara dengan Aaron di telepon, ia bisa mendengar bahwa Jeon-Jonas tertembak di perut dan itu luka parah yang perlu penanganan dokter.

Mengingat semuanya membuat hati Enna dilingkupi rasa sakit. Bila terjadi sesuatu pada pria itu, bagaimana dengan wanita ini—bagaimana wanita ini akan melalui harinya.

“Mel,” panggilnya.

Melissa menoleh sebagai tanggapan. Enna mengulas senyum.

“Jangan banyak melamun,” sambung Enna.

Melissa hanya menatapnya lurus tanpa menyahut. Enna terkekeh untuk menutupi rasa ibanya sembari mengusap punggung Melissa dengan sayang.

“Rumah barunya pasti luas dan menyenangkan.”

Ben yang menyetir di depan melirik dari kaca di depan, ia membuang napas mendapati gurat wajah Melissa yang datar tanpa senyum.

***

Nyaris satu jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di depan pekarangan sebuah rumah mewah namun lebih sederhana dari rumah mereka sebelumnya. Banyak pepohonan di sekitar, terutama pohon pinus yang membuat udara di sana jauh lebih sejuk dari rumah sebelumnya.

“Ayo turun, Mel.”

Enna mengusap lengan Melissa lantas bersama-sama keluar dari dalam mobil.

“Rumah yang besar, bukan?” celetuk Ben seraya bersedekap di sebelah Melissa.

Melissa mendongak memperhatikan rumah baru mereka lantas melirik Ben yang tersenyum tipis kepadanya.

“Jeon membelinya?” tanyanya pelan.

“Ya, atas nama Melissa Kyle.”

Melissa tertegun. “Jeon membelinya untukku?”

Ben mengangguk. “Ini rumahmu.”

Melissa memperhatikan rumah besar di hadapannya. Bangunan yang didesain megah dengan pilar-pilar tinggi nan kokoh. Di sampingnya, Ben menjelaskan bahwa ada kolam ikan di belakang rumah juga paviliun yang cukup luas. Melissa juga bisa bersantai di rumah karena ada fasilitas hiburan seperti bioskop mini, ruang karaoke dan ruang gym.

Untuk mengetahui lebih lanjut, Ben mengajak Melissa dan Enna untuk masuk ke dalam rumah. Beberapa saat, Enna tidak bisa menutup rasa takjubnya pada interior rumah yang begitu mewah dan terkesan begitu lapang.

Melissa sendiri hanya melihat sembari mendekap simba dengan kedua lengannya.

Usai mengenalkan isi rumah, Ben kemudian mengantar Melissa ke dalam kamar miliknya.

“Beristirahatlah.”

Melissa mengangguk, mulai naik ke tempat tidur yang masih begitu asing untuknya. Di sini begitu luas namun juga begitu kosong.

“Untuk barang-barangmu yang lain, nanti akan aku antarkan kemari,” lanjut Ben.

Melissa mendekap simbanya lebih erat lantas mengangguk sebagai jawaban.

***

Rasanya—sepi sekali. Semua barang-barangnya sudah ada di sini, setengah dari anak buah suaminya juga ada di sini tapi terasa sepi sekali. Melissa memeluk tubuhnya sendiri di ranjang, berusaha melingkupi perasannya yang terasa kosong.

BABY PINKYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang