Bagian 20 :: Pepesan Kosong

88 11 0
                                    

Hari berikutnya, ketika ayah dan ibu Soo-jeong menjemput dan mengurus kepulangannya di bagian administrasi, Soo-jeong yang tidak sabar menunggu di kamar, mengekor dengan kursi roda yang didorong seorang perawat.

Ia ingin segera melihat dunia luar.

Di atas kursi roda, ia menunggu di balik pilar. Di saat itu pula ia melihat sosok Jong-in.

Lelaki itu sedang berjalan dengan buru-buru di lorong dekat taman. Di sampingnya berjalan Dokter Kaia. Mereka bercakap-cakap dengan asyik, seolah-olah dunia ini hanya mereka berdua saja isinya. Mereka tampak akrab, berjalan sambil sesekali di sela senyum dan tawa, serta gaya yang enak dipandang mata.

Sungguh, keduanya benar-benar tampak sepadan. Yang laki-laki, gagah dan tampan. Yang perempuan, cantik dan tampak berwibawa.

Soo-jeong belum pernah merasa begitu cemburu seperti yang dialaminya saat itu. Dan menyadari hal itu, ia benar-benar membencinya.

Soo-jeong merasa menyesal telah mengikuti kata hatinya untuk berlibur ke San Francisco. Kalau saja ia bisa bersikap tegas pada Sehun agar laki-laki itu tidak mendekatinya lagi, pasti ia tidak akan lari ke San Francisco—dan kecelakaan itu pasti tidak terjadi dan pasti ia tidak bertemu dengan Jong-in.

Dan kalau tidak bertemu dengan Jong-in, pasti ia tidak mengalami perasaan cemburu yang menyiksanya.

"Huh. Cukup." Soo-jeong menghardik dirinya sendiri dan menghentikan berbagai pikiran itu. "Apa hakku untuk merasa cemburu seperti itu?"

💗

Soo-jeong kembali ke rumah kakek neneknya. Setelah itu, kedua orang tuanya langsung pulang ke Seoul esok harinya. Yong-hwa—salah satu sepupu Soo-jeong—sudah berjanji akan mengantarnya pulang ke Seoul kalau kondisinya sudah membaik.

"Paling tidak, ya, satu bulan lagi. Setelah dua kali kontrol ke Dokter Dacre, baru Soo-jeong bisa kembali ke Seoul," begitu kata Yong-hwa pada ibu Soo-jeong. "Serahkan Soo-jeong padaku, Imo!"

"Oke. Begitu, 'kan, Jeong~ah?"

"Kita lihat saja, Eomma. Toh, Dokter Dacre juga sudah berjanji akan membuatkan surat pengantar untuk dokter yang akan melanjutkan perawatanku di Seoul nanti," sahut Soo-jeong.

Di antara sepupunya, Soo-jeong memang paling dekat dengan So-min dan Yong-hwa, karena selisih usia mereka tidak jauh. Sejak kecil mereka bertiga sering bersama. Tapi karena So-min sudah menikah, maka hanya Yong-hwa saja yang bisa sering datang menghibur Soo-jeong.

Bahkan dengan kursi rodanya, beberapa kali Yong-hwa mendorong Soo-jeong jalan-jalan di pertokoan dan makan di luar.

💗

Minggu pagi, Yong-hwa datang lagi ke rumah kakek neneknya untuk menjenguk Soo-jeong lagi. Setelah dewasa, ia merasa semakin cocok dengan Soo-jeong. Mereka sering berdiskusi sampai lupa makan.

"Jangan lupa makan, Yong-hwa, Jeong~ah," begitu sang kakek sering menegur. "Nanti Soo-jeong terlambat minum obat."

Pagi itu, Soo-jeong menegur sang Yong-hwa; merasa jengkel karena pemuda itu tidak segera memutuskan untuk menikah. Setiap berpacaran, tidak pernah berlangsung lama.

"Minggu begini bukannya pergi dengan pacar, malah datang ke sini lagi."

"Tidak senang aku jenguk, ya?"

"Kalau kau membawa pacar, pasti aku akan senang sekali."

"Pacarku masih belum lahir, tahu?"

"Jangan idealis ah, Hwa~ya. Mana ada sih, perempuan sempurna di dunia ini? Yang realistis saja lah," kata Soo-jeong lagi.

0 cm | Kaistal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang