Lover

398 54 19
                                    

Hai guys sebenarnya chapter ini masuk ke bagian chapter 10 kemarin. Cuma karena kepanjangan akhirnya aku bagi deh jadi dua chapter. Semoga kalian suka dengan chapter ini yaa, jangan lupa VOTE dan KOMEN!! :) 

Cr : Pinterest

.

.

Apakah ia salah bicara?

"..."

Seharusnya ia tahu keputusan di saat pikiran kacau memang tak pernah memberikan hasil yang baik. Mungkin seharusnya ia sekarang pergi ke kampus, menemui Karin, dan meminta pendapat perempuan itu apa yang seharusnya ia lakukan. Atau mungkin ia bisa menelan harga dirinya dan pergi menemui Naruto ̶ meskipun ia terkadang mengacuhkan pria itu ̶ meminta bantuannya untuk membujuk Bibi Kushina agar menghentikan hubungan ibunya dan Itachi. Ya, benar! Lebih baik seperti itu saja.

"Oke, sepertinya itu ide yang buruk, aku akan –"

"Oke."

"..."

"..."

"Kau serius?" Hinata merasa setengah dirinya tak yakin akan jawaban laki-laki di depannya ini. "M-maksudku ini hal yang absurd 'kan?"

Mari kita ingat sudah berapa kali Hinata merasa sebal jika Sasuke tersenyum seperti itu. Senyum orang bodoh yang memang benar-benar bodoh. Kebodohan tiga kali lipat yang tak bisa diselamatkan. Dan sekarang, senyum itu seperti mengejek Hinata. Balik menamparnya keras, mungkin untuk balasan tamparannya di taman beberapa minggu lalu.

"Lupakan saja. Aku benar-benar ketakutan melihat senyummu sekarang." Celetuk Hinata spontan. Melupakan niat awalnya untuk meminta bantuan.

"Hei, jangan begitu! Aku serius, Hinata. Aku mau membantumu..." Astaga, senyuman itu bertambah lebar, dan Hinata mulai menyesali keadaan ini. "... tapi ada syaratnya."

Tuh 'kan? Apa yang kau harapkan dari bocah kematian ini, Hinata? Perempuan indigo itu menyipitkan mata, mencoba tak mengeluarkan kalimat yang akan membuat dirinya merugi. "Baiklah, asal syaratnya masuk akal bagiku." Ia tekankan hal itu.

Sasuke mendekat, menipiskan jarak antara mereka berdua. Dalam jarak sedekat ini, ia bisa mencium aroma cat air yang menyengat dari tubuh laki-laki itu. Ia bisa melihat juga beberapa kumis Sasuke yang mulai tumbuh kecil-kecil di atas bibirnya. Ada bekas jerawat yang mengering di pipi kanannya. Ia bisa melihat jika kulit Sasuke lebih gelap dari biasanya, dan entah mengapa hal itu membuatnya bertanya-tanya, apa yang dilakukan laki-laki ini saat tak bersamanya?

Hinata menatap mata sekelam malam itu saat Sasuke mendekatkan wajahnya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tak menghindar, meyakinkan dirinya jika Sasuke tak akan melakukan sesuatu yang bodoh lagi padanya. Ia sedikit tersentak tatkala jari Sasuke menyibakkan poninya yang sedikit menutup mata, dan dari jarak sedekat ini, ia benar-benar bisa memandang wajah tegas laki-laki itu. Sedikit membawa kenangan.

Hinata menunggu bibir itu untuk mengucapkan sesuatu, jika tidak, mungkin ia bisa terhanyut akan kelembutannya. Ia mengerjapkan mata pelan, "katakan, apa syaratnya?"

Senyum itu bertengger di bibirnya, "jangan jatuh cinta padaku." Entah mengapa Hinata merasa senyum itu terasa tulus.

.

.

Karin merasa lega tatkala matanya menangkap siluet perempuan berambut indigo yang berjalan di sela-sela gerombolan mahasiswa lain. "Iya, Bibi, Hinata sepertinya baru saja datang." Karin segera menutup ponselnya dan berlari kecil menghampiri Hinata yang tengah menundukkan kepala.

"Hinata!"

Perempuan yang dipanggil mendongkkan kepalanya, kemudian secercah senyuman terbit di bibirnya yang sedikit pucat. Karin melangkah dengan cepat, berharap Hinata baik-baik saja. Beberapa menit yang lalu ia mendapat telepon dari Bibi Hikari, menanyakan kabar apakah ia sedang bersama anaknya, mengingat Hinata meninggalkan rumah dalam keadaan marah. Karin mencoba menahan diri untuk tak menanyakan perihal kemarahan Hinata, pastinya itu bukanlah hal yang bagus. Sudah sangat lama sekali sahabatnya itu tak marah, hingga membuat Bibi Hikari harus meneleponnya.

Normal PeopleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang