Jembatan Hantu

255 39 4
                                    

Halo guys... udah lama banget aku gak apdet cerita ini dan cerita-cerita lain. Beberapa bulan ini lagi suntuk banget dan aku gak ada mood untuk nulis. Tapi akhirnya aku sedikit demi sedikit balik nulis lagi hehehe... so terima kasih banyak buat kalian yang udah nunggu cerita ini😊

Btw chapter ini akan sedikit berat. Sebisa mungkin aku ingin menuliskan perasaan Hinata tentang dirinya dari sudut pandang orang pertama. Aku harap feel-nya tetep bisa kerasa. Beberapa dari kalian yang memiliki pengalaman seperti Hinata mungkin gak akan asing dengan perasaan-perasaan yang akan aku tulis di bawah.

Semangat untuk kita semua😊

Gambar di atas diambil dari manga berjudul "Our Love is as Painful as Reaching Death".

Beberapa informasi tentang daerah di cerita ini aku ambil dari hasil searching di internet tentang Jembatan Taushubetsu.

.

.

Aku tidak pernah ingat dengan jelas hari apa itu. Yang kuingat adalah, aku bangun pagi dengan mata yang sembab. Kepalaku terasa sangat sakit dan rasanya aku ingin memejamkan mata lagi. Mencoba menghindari kehidupan yang tak kuinginkan. Namun, suara ketukan pintu membuatku harus bangun. Dan aku tahu, ibuku pasti akan sangat khawatir jika aku tak segera turun.

"Hinata, kau sudah bangun?"

Aku menggumam agak keras agar ibuku dengar. Memutuskan untuk bangkit dan sedikit berbenah. Aku ingat hari itu ibu memasak gyudon. Ia menampilkan senyuman paling manis yang pernah kulihat, dan aku sedikit banyak tahu ̶ senyuman itu untuk menenangkan diriku. Kuputuskan membalas senyuman itu dengan senyuman terbaik yang kumiliki. Memberikan tanda bahwa aku baik-baik saja, dan agar ia tak khawatir berlebih padaku.

Apa yang terjadi beberapa hari terakhir bukanlah hal yang serius, batinku.

Apa yang terjadi kemarin akan segera terlupakan, pikirku.

Apa yang terjadi dengan diriku bukanlah hal baru. Dan sudah sewajarnya aku melanjutkan hidupku lagi. Menjadi Hyuuga Hinata yang biasa.

"Kau mau ke mana hari ini?"

"Mungkin aku akan pergi ke kampus." Jawabku sambil makan dengan lahap. "Ada yang harus kulakukan dengan Karin hari ini."

"Kapan-kapan ajaklah Karin ke sini." Ibuku memberi saran, "mungkin Karin bisa menemanimu."

"Ada Ibu di rumah, mengapa repot-repot membawa Karin menginap?"

"Yah... kau tahu... akan lebih baik jika ada yang menemanimu..."

Wajah itu lagi. Wajah khawatir yang terkadang membuatku muak. Campuran rasa bersalah, khawatir yang berlebihan, dan wajah orang asing. Aku tak tahu mengapa aku berpikir ibuku seperti orang asing saat ini. Yang aku ingat, setiap kali masalah ini muncul, wajah orang asing itu akan ibu tunjukkan. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja.

.

.

Beberapa orang menyebutnya "broken home". Orang tua berpisah karena masalah besar yang sudah tak bisa diselesaikan. Satu-satunya jalan keluar adalah berpisah. Memang sangat menyakitkan, dan aku jamin tak ada satu pun orang di dunia yang ingin bercerai dari pasangannya. Tapi, terkadang impian itu harus terkubur, demi warasnya pikiran.

Aku tak pernah benar-benar paham mengapa orang-orang bercerai. Kenapa menikah jika pada akhirnya bercerai? Apakah orang-orang itu tak sadar akan tanda-tanda hubungan mereka yang tak berjalan harmonis? Apakah mereka memaksakan kebersamaan atas dasar cinta? Tapi, jika cinta mengapa harus berpisah?

Kupikir meski kedua orang tuaku berpisah aku akan tetap menjadi Hyuuga Hinata seperti biasa. Tapi, entahlah. Ada sebagian dari diriku yang mati sejak kejadian itu. Dan aku selalu mencari cara menghidupkannya kembali, namun tak pernah ada jalan keluar. Aku bertanya-tanya ke manakah bagian diriku yang itu pergi? Apakah ia ke surga? Atau terjun bebas ke neraka?

Normal PeopleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang