Bagian; Delapan

127K 7.8K 165
                                    

Bismillah

Koreksi typo

Selamat membaca :)

🥀🥀🥀


"Whaa! Astagfirullah!"

Jantung Zoya nyaris pindah dari tempatnya melihat wajah Alan tepat ketika membuka pintu. Tidak ada tanggapan berarti dari Alan melihat Zoya terkejut karenanya. Lirikan sinis Zoya berikan, melewati Alan begitu saja berjalan menuju dapur.

Alan bergerak mengikuti. Segala gerak-gerik Zoya tidak luput dari pandangan Alan. Mulai dari Zoya membuka lemari pendingin, mengambil susu hingga bagaimana Zoya memasukkan lembar roti ke dalam pemanggang. Tidak ada Zoya yang menyiapkan sarapan selayaknya dulu.

"Apa sih lihat-lihat?" tukas Zoya tidak nyaman diperhatikan oleh Alan.

Alan berdeham, mengalihkan pandangannya dari Zoya. Di ambilnya roti yang baru keluar dari pemanggangan, juga secangkir kopi. 

"Mau ke mana kamu pagi-pagi sekali?" tanya Alan akhirnya. Menahan Zoya untuk pergi. Wanita ini tampak diburu waktu.

"Enggak penting juga buat kamu tahu." begitu jawab Zoya, sambil memasukkan kotak bekal ke dalam tasnya. Zoya tidak punya banyak waktu untuk meladeni Alan. Tidak pernah ada pembicaraan yang berakhir baik diantara mereka karena setiap memulai akan selalu berakhir dengan bertengkar. Semalam mungkin Zoya terlalu lelah, tapi sekarang Zoya tidak ingin terlambat datang ke kantor karena melewati pertengkaran di pagi baik ini.

Namun ... Alan tetaplah seorang Alan yang tidak bisa begitu saja melepaskan Zoya. Alan beranjak dari duduknya, mendekati Zoya. Tatapnya menyorot detail penampilan Zoya yang tidak seperti biasanya.

"Apa sulitnya kamu jawab pertanyaan aku, hm? Oh atau jangan-jangan kamu mau ketemu selingkuhan kamu itu?" Alan menyorot datar tetapi jelas ada penekanan pada kata 'selingkuhan' yang terucap. Alan justru senang mematik api pertengkaran pagi ini.

"Memang enggak sulit, tapi gak ada gunanya juga buat kamu tahu."

Tidak ada yang perlu Alan ketahui tentang Zoya. Alan terbiasa acuh dan sebaiknya begitu seterusnya.

Zoya menunjuk dirinya tidak percaya, "Selingkuh? Aku? Seorang Zoya?" lalu telunjuknya beralih kepada Alan. "Lalu kamu apa? Jangan membuatku terlihat lebih jahat dari kamu. Kamu bebas mau beranggapan apa. Enggak guna juga klarifikasi, kan?" Zoya tidak ingin repot menjelaskan tentang Bara yang semalam Alan lihat mengatarnya pulang.

"Oh ya?" singkat tapi jelas ada sebongkah rasa penasaran yang terselip.

Zoya memangguk cepat. Tersenyum kecil lalu berlalu melewati Alan, tidak terduga Alan juga menahannya lagi. Helaan napas kasar terdengar dari Zoya, menatap Alan yang kemudian turun pada tangan pria yang menahannya. Zoya tidak langsung protes, sengaja menunggu Alan berbicara.

"Kamu enggak bisa pergi tanpa seizinku."

Suara tawa Zoya terdengar kencang sekali begitu Alan selesai bicara. Zoya sampai memukul-mukul lengan Alan sebagai pelampiasan. Tidak menduga Alan akan berkata demikian. Sungguh lucu sekali.

"Apa yang lucu?" memang tidak ada yang lucu dari ucapan Alan. Hanya saja ... Alan, atas dasar apa kata-kata itu terucap?

Gelengan kepala Zoya berikan sebagai jawaban. Zoya mengusap sudut matanya yang berair. Menatap Alan dalam, mencoba mencari sisi apa dari Alan yang pantas mengeluarkan ucapan itu. Zoya menggeleng sekali lagi, tidak ada satupun dari Alan yang pantas mengatakan itu.

"Kamu siapa, Alan? Kata-kata itu sama sekali gak pantas keluar dari mulut kamu." Zoya menghentak kasar tangannya hingga terlepas dari genggaman Alan. "Kamu suamiku itu benar. Tapi apa bagimu aku adalah istrimu? Tetaplah pada pendirianmu, Alan. Jangan goyah." sambung Zoya, tersenyum tipis melihat kebisuan Alan. Zoya berbalik, mengambil langkah untuk segera pergi dari hadapan Alan.

Sumbu yang tersulut mulai mengeluarkan api kecil. Api itu memanas seiring Zoya menghilang bersama mobil yang di tumpangi dengan seorang pria. Alan menggeram marah sepeninggal Zoya. Alan tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut atau rencananya benar-benar akan kacau.

"Selamat pagi, Pak."

Sapaan itu Alan hiraukan. Alan bergegas masuk ke ruangan dan mendudukkan diri di kursi kerjanya setelah menanggalkan jas yang memberi sesak. Kemudian menggulung lengan kemeja kasar hingga siku dan melonggarkan dasi yang mencekik lehernya. Masih pagi Alan sudah berwajah kusut dengan segala penat yang tertumpuk. Itu semua karena api kecil pada diri Alan yang belum padam. Atau justru semakin membesar seiring waktu?

"Pak, ini berkas yang perlu diperiksa dan tanda-tangani."

Alan membuka mata melihat ke arah sekretaris yang memasuki ruangan. Perempuan itu berjalan mendekat, meletakkan setumpuk berkas yang berhasil membuat kepala Alan semakin berdenyut saja.

"Apa perlu saya siapkan kopi sekarang, Pak?" perempuan itu sangat berhati-hati dalam bertanya, sadar akan wajah Alan yang tidak bersahabat. Sigap dalam menilai situasi, kondisi dan suasana hati atasan adalah bagian dari tugas sekretaris meski itu semua tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan.

Alan memberikan anggukan kepala sebagai jawaban. Tangannya meraih salah satu berkas yang dibawa oleh sekretarisnya.

"Tolong sekalian bawa makanan juga ya. Saya belum sarapan." tambah Alan kemudian.

Rania mengangguk sekilas dan berjalan keluar dari ruangan meninggalkan Alan dengan segudang pekerjaan. Tidak lama seseorang kembali membawa secangkir kopi dan sarapan untuk Alan. Akan tetapi bukanlah Rania—sekretaris pria ini melainkan Dewina.

"Hai ..." Dewina tersenyum menyapa. Langkahnya menuju sofa yang ada di ruangan itu.

Alan yang semula berwajah kusut berubah berseri melihat kedatangan Dewina. Alan beranjak dan bergabung bersama Dewina di sofa. Alan menyesap kopinya sebelum memulai sarapan. Tidak ingin mengganggu Alan, Dewina terlihat membuka map yang dibawanya, memeriksa dan memilah berkas-berkas itu agar memudahkan Alan dalam mengerjakannya.

Dewina menyerahkan map tersebut kepada Alan seusai makan yang segera diterima Alan dan tidak lama diberikan lagi kepada Dewina.

"Aku balik ya. Kamu semangat kerjanya." Dewina pamit undur diri dari ruangan Alan. Tetapi Alan dengan cepat meraih tangan Dewina menahannya untuk pergi. Tarikan Alan membuat Dewina terduduk kembali di sisi Alan. "Pagi-pagi muka kamu udah kusut aja. Kamu kurang tidur?" 

"Alan, kita sedang di kantor. Bagaimana kalau ada yang lihat?"

"Sebentar aja, Na. Kamu tenang saja, enggak ada yang akan lihat kita."

Pelukan Alan semakin mengerat pada tubuh Dewina. Kepanikan Dewina memudar dan membalas pelukan hangat itu untuk beberapa waktu. Siapa yang menduga jika kantor adalah tempat dimana Alan dan Dewina leluasa bertemu. Tidak ada yang menghalangi dan tidak ada perasaan was-was yang meliputi seperti saat berada di publik.

Dewina kerap mendatangi Alan sesukanya. Tidak ada yang curiga karena alasan yang digunakan cukuplah sederhana. Sebab segala pekerjaan yang dilimpahkan pada divisi Dewina bekerja berkaitan dengan Alan. Jadi, tidak ada alasan untuk keduanya tidak bertemu dalam waktu yang lama. Waktu lembur sebagai tambahan yang paling di nantikan. Dengan begitu mereka bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama hingga larut atau bahkan sampai pagi menjelang.

Begitulah ... Hubungan Alan dan Dewina terjaga baik selama ini.





Tertanda, Fii.
Publish: 08 Juni 2023

Let's Divorce, Husband! [SELESAI] TERBIT✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang