♡♡♡
Di dalam kamar, Ana menatap langit-langit, lagi-lagi ia menghembuskan napas kasar, ia sadar ini sama sekali tidak adil untuk Eric, bukankah dirinya yang sudah berkhianat tapi mengapa justru Eric yang harus menanggung kesalahannya, dan lagi ia bahkan tidak di izinkan menginjakkan kaki di penjara meskipun dirinya bersalah.
"Dunia benar-benar tidak adil" gumam Ana. Ia sebenarnya sudah siap menerima hukuman, bahkan baginya penjara masih terlalu bagus, kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sama sekali tidak masalah di bandingkan hidup dalam rasa penyesalan yang mendalam karena telah melenyapkan nyawa seseorang yang sudah menemaninya selama ini.
Sialan!
Deringan ponsel membuat Ana beranjak dari tempat tidur untuk melihat siapa yang sudah mengganggu ketenangannya.
"Pria itu lagi" Ana menolak panggilan membuat pria di ujung sana langsung mengumpat.
Ponsel Ana kembali berdering dan Ana kembali menolak panggilannya, sebuah pesan masuk membuat matanya membola, ia menggeram rendah, ingin rasanya melemparkan ponsel tersebut tapi Ana sadar, hidupnya kekurangan jadi ia tidak akan melakukannya.
"Jawab telponku atau aku akan datang untuk memperkosamu"
Dasar pria tua tidak tau malu!
Ana tidak punya pilihan lain selain menjawab telpon tersebut saat ponselnya kembali berdering.
"Halo sayang"
"Si"
"Apa kau sudah makan siang?"
"Si" jawab Ana berbohong.
"Apa kau sedang berada di apartemen?"
"Si"
Suara decakan terdengar di ujung sana, Dario sepertinya mulai kesal dengan Ana.
"Apa kau tidak punya kata lain selain kata sialan itu?!" Tanya Dario sedikit berteriak.
"Si" jawab Ana malas, ia ingin segera menyelesaikan obrolan menyebalkan ini.
"Aku akan datang dan memperkosamu" ujar Dario dingin.
"Si" Ana tidak lagi mendengarkan apa yang pria itu ucapkan ia hanya asal menjawab.
"Baiklah tunggu aku"
"A-apa?"
"Ku bilang aku akan datang" telponpun terputus.
"Apa maksudnya? Untuk apa dia datang?" Perasaan Ana mulai tidak enak.
Dan benar saja, tidak butuh waktu lama suara ketukan di pintu apartemennya terdengar, jantung Ana berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia jadi gugup. suara ketukan itu perlahan-lahan berganti menjadi suara gedoran. Ana semakin kalang kabut, ia tidak ingin membuka pintu tetapi pintunya bisa saja roboh jika di gedor-gedor seperti itu.
"Ana buka pintunya sayang" Dario sudah tidak sabar untuk memasukkan batangnya di liang hangat Ana.
Setelah mondar mandir berulang kali, Ana memberanikan diri membuka pintu dan ia langsung saja di sambut dengan sebuah ciuman, Rafael yang tidak siap dengan adegan itu langsung berbalik dan menutup pintu dari luar, bosnya benar-benar sudah terangsang.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Ana saat ciumannya terlepas, ia mendorong tubuh Dario tetapi Dario kembali memeluk Ana lebih erat, Ana bahkan kesulitan bernapas, Dario terus saja mengendus leher dan memberikan tanda kepemilikan disana.
"Ku mohon, hentikan" rintih Ana.
"Kau sendiri yang ingin di perkosa sayang aku akan mewujudkan keinginanmu" bola mata Dario menggelap, senyum setannya terlihat seribu kali lebih mengerikan dari biasanya, Ana yang menerima kecupan-kecupan di pipi dan juga lehernya sebenarnya tidak ingin munafik, ia juga mulai terangsang tapi ingatan menyakitkan itu kembali menghantam kepalanya.
"Ku mohon hentikan" air matanya jatuh namun Dario tidak berhenti, ia terus menciumi bibir Ana dengan brutal sampai bibirnya membengkak, tidak peduli dengan suara tangisan Ana, otaknya sudah di penuhi oleh nafsu, tanpa menghiraukan Ana, dengan satu tarikan kuat membuat kaos yang di gunakan Ana robek, ia melempar kaos tersebut ke lantai, Dario kembali tersenyum saat melihat bukit kenyal Ana yang sepertinya tidak muat di bra yang ia kenakan.
"Kau sangat indah" ujarnya serak ia langsung menenggelamkan wajahnya di belahan bukit kenyal Ana, mengabaikan suara jeritannnya dan juga pukulan yang terus diberikan oleh gadis itu.
Dario terlanjur mabuk apalagi saat ia melepas kasar bra milik Ana, matanya tidak mampu berkedip untuk memandangi keindahan tubuh gadis itu, ia terus mendorong tubuh Ana yang mulai melemah ke atas ranjang, di cumbuinya bukit kenyal itu, meremas dan juga menggigit lembut putingnya, Ana mati rasa, ia tidak mendesah, justru seperti orang yang akan segera kehilangan nyawanya dan pria brengsek itu tidak memperhatikan wajah Ana lagi, ia fokus menyusu bak bayi yang baru mendapatkan asi, tangan Ana yang tadinya memukul Dario kini terjatuh di antara tubuhnya, pandangannya nanar, ke arah langit-langit kamarnya, ia pasrah sama seperti yang ia lakukan hari itu, tangisannya kini tidak lagi terdengar namun air matanya tidak berhenti mengalir.
"Ayah, kumohon hentikan" ujarnya lemah.
Dario akhirnya tersadar, ia baru saja ingin melepas celana dalam gadisnya namun ia urungkan dan melihat ke arah Ana yang terlihat lemah.
"Ayah?" Dario pun mengambil selimut dan langsung menutupi tubuh Ana yang kini kaku.
"Maafkan aku, aku.." Penyesalan langsung menggerogoti dada Dario melihat kondisi Ana, ia memeluk gadis itu dengan erat lalu mencium keningnya, berharap ketenangan akan segera menghampiri Ana.
"Maaf aku menyakitimu, aku tidak bermaksud.. Maaf!" Cukup lama ia memeluk Ana sampai akhirnya Ana bisa berbicara lagi.
"Aku takut, kau terlihat seperti Ayah" lirihnya
"Apa maksudmu Ana?" Ana menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba mengusir pikiran menyakitkan itu dari kepalanya. Ia menjerit, dadanya begitu sakit ingin rasanya ia hilang ingatan, tangan kecilnya menarik rambutnya kuat hingga beberapa helai rambut Ana tercabut, Dario semakin merasa bersalah, ia menggenggam lengan Ana dan menarik tubuh gadis itu kembali ke pelukannya.
"Maafkan aku.." ujarnya serak, raut wajah Dario penuh dengan rasa penyesalan.
Ana masih meronta dalam pelukan Dario, ingatan itu seperti belati yang terus menusuk-nusuk kepalanya, rasanya ingin mati saja, ia pikir melarikan diri ke Barcelona akan membuat ia melupakan kenangan buruknya tetapi ternyata tidak, ingatan itu mengikutinya kemanapun ia pergi, Ana tidak ingin dendam tetapi tetap saja ia tidak bisa melupakan kejadian buruk itu. mungkin mati memang lebih baik, ia juga bisa segera menyusul Eric untuk meminta maaf padanya.
Cukup lama Ana meronta sampai tubuhnya benar-benar tidak punya tenaga lagi, ia akhirnya tertidur di dalam pelukan Dario, Dario membaringkan Ana di kasur, menyelimutinya dan tanpa sadar ikut tertidur.
Hari berganti malam, langit jingga mulai keabu-abuan, Ana mengerjapkan mata dan mendapati Dario tertidur di sampingnya, ia bahkan memeluk pria itu entah kenapa Ana merasa sedikit nyaman meskipun pria itu baru saja melakukan hal yang tidak menyenangkan padanya.
"Kau sudah bangun?" Suara serak khas bangun tidur Dario terdengar, dan Ana spontan menarik tangannya, ia bahkan ingin menjauh dari pria itu tapi Dario mengulurkan tangannya dan menahan agar Ana tetap berada di sampingnya.
"Tidak perlu takut, aku tidak akan melakukan apa-apa" Dario tersenyum kali ini terlihat tulus.
Ana masih bergeming, di tatapnya pria yang kini ada di depannya itu.
"Apa ada yang sakit?" Dario berujar sembari membelai rambut Ana dan menyelipkannya di telinga, Ana hanya menggeleng ia masih tidak sanggup untuk berbicara.
"Aku akan meminta Rafael menyiapkan makanan untuk kita, beristirahatlah sebentar lagi" Dario meraih ponsel yang ia letakkan di atas nakas, mencoba menghubungi Rafael tapi ponsel pria itu tidak aktif.
"Kenapa tidak aktif?" Gumam Dario.
"Tidak perlu menelponnya, tunggu sebentar aku akan memasak" Ana akhirnya buka suara.
"Tapi sebelum itu, bisakah kau mengambil bra ku?" Lanjut Ana malu-malu sambil menunjuk branya yang tergeletak mengenaskan di bawah meja.
♡♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
DANGEROUS MAN
RomanceFOLLOW SEBELUM MEMBACA✅ Penyesalan terus mendera raganya, setelah kejadian hari itu, di depan matanya, ia harus melihat kekasihnya meregang nyawa dengan peluru menembus kepala, dan yang lebih menyakitkan adalah karena ia sendiri yang menarik pelatuk...