Peringatan Hari Lahir Pancasila selalu jatuh pada tanggal 1 Juni setiap tahunnya. Tanggal itu ditetapkan menurut momen sidang kedua Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945 silam yang membahas agenda penyusunan dasar negara.
Tahun ini, setelah hampir delapan dekade berlalu sejak penggagasan dasar negara itu, setiap daerah di seluruh Indonesia kembali memperingati Hari Lahir Pancasila dengan suka-cita yang meriah. Tak terkecuali almamater tempat Kyra menimba ilmu.
Hamparan rumput yang membentang sebuah lahan luas di depan gedung rektorat kampus terlihat ramai. Penuh oleh civitas pilihan yang berbaris rapi mengikuti upacara bendera untuk memperingati dirgahayu Pancasila. Setelah upacara bendera, akan ada perayaan beserta pidato dan bincang kebangsaan yang diisi oleh Gubernur, Walikota, Bupati dan jejeran pejabat negara lainnya di gedung serbaguna kampus ternama tersebut.
Kyra menjadi salah satu peserta upacara yang pagi itu berdiri takzim mengikuti rangkaian kegiatan dengan patuh. Walau gadis itu mulai merasa pusing dengan mual menyebalkan yang kembali menyerang perutnya, dia tetap memaksakan diri bertahan di tengah lokasi upacara. Sebenarnya, Kyra sudah merasa tidak enak badan sejak semalam. Namun sekali lagi, posisi sebagai sekretaris umum sebuah himpro menuntut tanggungjawabnya menghadiri acara ini bersama sang ketua.
Embun yang berbaris di samping Kyra sedari tadi telah melirik cemas ke arah sahabatnya. Gadis tomboi itu menyadari rona pucat Kyra di bawah terpaan hangat sinar matahari pagi.
"Lu nggak apa-apa?" bisik Embun saat sesi amanat pembina upacara di mulai.
"Iya." Kyra membalas pelan. "Cuma kepanasan." lanjutnya ketika melihat delikan tak percaya dari Embun.
"Tapi lu pucat banget." Embun menyergah. "Gue kodein Bang Azzam, ya? Mungkin dia bisa bawa lu pergi dari barisan."
Kalimat Embun membuat Kyra mengalihkan pandangan pada barisan yang berada persis di sebelah kanan hadapan mereka. Pada sosok laki-laki yang ternyata sedang menatapnya penuh selidik. Mata mereka beradu, seakan netra itu mampu menyelami apapun yang ada dalam pikiran Kyra.
Setelah lamaran dadakan Azzam beberapa hari lalu, laki-laki itu membuktikan ucapannya untuk tidak membiarkan Kyra menjauh. Malah Azzam makin menumpahkan perhatian yang sejujurnya membuat Kyra makin nelangsa.
"Jangan, Em. Gue baik-baik aja dan gue juga nggak mau Kak Azzam khawatir."
Gadis tomboi di sisi Kyra itu menghela napas kasar mendengarnya.
'Dasar keras kepala!'
Tapi Embun sadar dia tidak bisa melakukan apapun untuk membantu. Embun hanya bisa merapal doa semoga rektornya di depan sana tidak membuang banyak waktu mereka mendengarkan amanat panjang beliau. Batinnya merutuk, kenapa pula sesi amanat ini tidak ditiadakan saja?! Bapak Rektor mereka pasti akan kembali mengulang sambutan beliau di aula besar GWW nanti siang.
Oh God, Embun bahkan sudah melongos bosan membayangkannya.
Sementara Embun tenggelam dalam rutukannya, Kyra mengedarkan pandang pada objek-objek yang bisa ditangkap oleh mata. Dia mencoba mencari distraksi dari pusing dan rasa mual yang mendera. Mungkin, melihat tingkah anteng beberapa peserta upacara bisa membuatnya sedikit membaik. Namun gadis itu menyesali keputusannya ketika di depan sana, berada dalam barisan para tamu dari pemerintahan, iris kecoklatannya bersibobrok dengan netra kelam yang membuatnya terbelalak tidak percaya.
Di sana, Kyra menemukan sosok yang sangat tidak ingin dia temui berdiri memandang penuh perhatian ke arahnya. Benar-benar hanya tertuju padanya dengan ekspresi yang tidak bisa Kyra baca dari laki-laki tampan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Penghujung Jalan Kita
Espiritual============================ Tentang luka, yang menjadi awal semua bermula. ~ Zhafi Hasan Sastrasanjaya Tentang cinta, yang memilih menua bersama. ~ Aksara Azzam Husani Tentang asa, yang menanti sebuah nama. ~ Salman Syair Al-Farisy Tentang kita, ya...