"Bri, kamu putus sama Mahen?" tanya Ibu pada Sabrina ketika mereka sedang sarapan.
"Kenapa ibu tanya begitu?" Sabrina balik bertanya.
"Kemarin ibu telepon Mahen." Ibu meminum teh hangatnya dengan santai setelah mengatakan itu.
Sabrina meletakkan roti panggangnya di piring, ia fokus menanti ucapan ibu selanjutnya.
"Dia bilang, kamu yang mutusin Mahen. Kenapa?" tanya Ibu.
Sabrina mengambil kembali rotinya, digigitnya bagian tepi dan dikunyahnya dengan santai. Ia malas menjawab pertanyaan ibu. Sabrina sebenarnya ingin mendengar pendapat Mahen soal kandasnya hubungan mereka. Apakah masih ada peluang untuk mereka bersama?
"Bri? Kamu enggak mau jawab ibu?" Ibu memandang Sabrina dengan tegas.
"Dia ngadu apalagi sama ibu? Aku cemburu gila sama si micin? Aku membesar-besarkan masalah? Dia bilang, kalau dia enggak bermaksud bohong, tapi aku yang cemburuan?" Sabrina kesal.
"Mahen enggak bicara apapun. Dia suruh ibu menanyakan semua itu ke kamu? Jadi, masalah kamu cemburu?" Ibu menanti jawaban Sabrina.
Ah, Sabrina sekarang terlihat seperti wanita yang tidak mau disalahkan. Walaupun memang benar, ia tidak mau disalahkan.
"Sabrina mau ke toko dulu, Bu." Ia bangkit dari kursinya, tanpa berniat menghabiskan sarapannya.
Ia bukannya marah soal pembahasan tentang Mahen. Pikirannya kalut, ia sebenarnya menyesal dengan keputusannya mengakhiri hubungannya dengan Mahen. Namun, sungguh sangat memalukan jika ia mengatakan kalau ia menyesal berpisah dari Mahen.
Wanita itu segera memasuki mobil sedan hitamnya, yang sebelumnya sudah dipanasi oleh Mang Etew-tukang kebun di rumah mereka.
Mobil melaju dengan kecepatan normal, Sabrina mengendarai mobil ditemani dengan suara musik yang berasal dari radio. Tak lama kemudian, dering ponselnya berbunyi dan ia menjawabnya melalui wireless.
"Apa, Lan?" tanya Sabrina.
"Elo di mana?" tanya Lani cepat.
"Masih di jalan, on the way toko. Kenapa?" jawab Sabrina.
"Gue ke toko aja, deh! Ketemu di sana, ya." Sambungan pun diputus oleh Lani.
Lani-sahabat Sabrina sejak duduk di bangku SMA, hingga hari ini mereka masih bersama. Semua hal tentang Sabrina, Lani tahu. Begitu juga sebaliknya. Mereka sudah saling percaya.
The Bloom Room, toko bunga milik Sabrina sudah buka begitu ia tiba. Tampak Tiwi dan juga Agus sedang melakoni tugas mereka masing-masing sembari menunggu pelanggan.
"Selamat pagi, Mbak. Bagaimana kabarnya hari ini?" Tiwi menyengir lebar. Menghentikan aktivitasnya mengelap vas sejenak demi menyambut sang pemilik toko.
"Baik," balas Sabrina singkat. Tatapannya mengedar ke sekitar sebelum kembali pada Tiwi yang masih setia dengan cengirannya. "Teman saya belum datang?"
"Teman yang mana, Mbak? Dari tadi cuma ada saya sama Agus di sini," balas Tiwi.
Agus mengangguk setuju dengan ucapan rekan kerjanya.
"Ya sudah kalau belum datang."
Sabrina menyimpan tasnya ke atas meja kasir lantas mengeluarkan ponsel. Mengesah pelan kala mendapati layar sepi tanpa pemberitahuan. Biasanya, Mahen rajin mengirim pesan singkat sekadar menanyakan sudah sampai atau belum. Atau, bisa juga Sabrina yang mengirim pesan terlebih dahulu untuk memberitahu.
Namun, sekarang tidak ada lagi yang bisa Sabrina lakukan selain mengusap layar yang masih menampilkan foto mereka berdua. Rasa rindunya pun semakin menjadi-jadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ngegebet Mantan (Lagi!)
ChickLitSabrina (27), wanita dewasa yang ternyata gagal move on dari sang mantan-Mahen (30). Walau kesibukannya sebagai florist menyita perhatiannya, nyatanya bayangan Mahen selalu memenuhi kepalanya. Bahkan ia lebih rajin memantau sosial media Mahen diband...