14. Rasa Seperti Kupu-Kupu yang Beterbangan di Perut

64 9 0
                                    

Film aksi menjadi pilihan mereka malam itu. Bukan horor apalagi romantis. Sabrina sengaja menghindari munculnya adegan yang berpotensi membuatnya berlaku berlebihan karena terbawa suasana. Mengingat status mereka kali ini bukan lagi sepasang kekasih.

Datang beberapa menit lebih awal dari pemutaran film, Mahen menyempatkan diri membeli popcorn dan lemon tea terlebih dahulu sekaligus memesan tiket. Sabrina hanya bisa pasrah meskipun rasanya sedikit canggung.

Sepanjang pemutaran film, Sabrina tidak bisa fokus. Alih-alih mendengar suara pemeran dari pengeras yang berputar, Sabrina justru mendengar deru napas Mahen yang terdengar teratur tepat di samping telinganya. Mahen memang duduk sedikit condong ke kiri. Tangannya menopang dagu hingga nyaris bersandar pada Sabrina. Sedangkan tangannya yang lain sibuk memasukkan popcorn ke dalam mulut.

Lebih dari dua jam film berputar tidak terasa bagi keduanya. Tahu-tahu layar bioskop sudah menayangkan nama-nama pemeran beserta kru yang sebagian asing di mata Sabrina.

Ketika menoleh, Sabrina mendapati Mahen juga tengah menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Tidak ingin membuat suasana menjadi  semakin canggung, Sabrina segera berdehem dan memalingkan wajah.

"Filmnya udah selesai," ujar Sabrina.

"Iya. Waktunya pulang."
Mahen terkekeh ringan. Sebagian dirinya merasa malu ketahuan memerhatikan Sabrina secara terang-terangan. Mau bagaimana lagi? Wajah Sabrina di bawah cahaya temaram bioskop tetap terlihat mengagumkan di matanya.

Tanpa sadar, Mahen menggandeng tangan Sabrina keluar dari bioskop. Banyaknya orang yang juga ingin keluar membuatnya takut  Sabrina akan terdesak. Sedangkan, Sabrina terus memandangi tangannya yang digenggam Mahen. Tangan Mahen lebih besar dari tangannya. Genggamannya memenuhi seluruh tangan Sabrina yang terlihat sangat kecil.

Sabrina tidak bisa menahan senyumnya di sepanjang perjalanan pulang. Meskipun tidak terlibat pembicaraan berarti, tetapi ingatan Sabrina terlempar pada kencan pertama mereka. Penuh dengan kupu-kupu beterbangan di perut.

Hingga setibanya di rumah, Sabrina segera menghambur ke arah Rossa yang sengaja menunggu di teras. Tadinya, perempuan paruh baya itu merasa khawatir karena putri satu-satunya belum pulang. Namun, begitu melihat mobil Mahen memasuki halaman, kekhawatirannya lenyap begitu saja.

"Selamat malam, Tante," sapa Mahen sopan. "Maaf saya mengantar Sabrina pulang terlalu malam."

Rossa melambaikan tangan singkat. Meminta Mahen agar tidak risau.

"Santai saja. Tante tahu kamu lelaki yang baik dan bisa menjaga Sabrina."

Mahen tersenyum lega. Ibu Sabrina tetap tidak berubah meskipun statusnya kini bukan lagi kekasih sang putri.

"Masuk dulu. Tante bikinin minum."

"Enggak usah repot-repot, Tan. Udah malam juga. Kebetulan masih ada pekerjaan."

Rossa tidak memaksa. Dia cukup tahu jika Mahen adalah orang yang sibuk.

"Kalau begitu salam buat orang tua kamu, ya."

"Iya, Tante. Pasti disampaikan."

"Sering-sering main ke sini, soalnya suka ada yang kepo sama kabar kamu."

Sabrina melotot mendengar ucapan sang ibu. Wajahnya memanas tanpa bisa dikontrol. Setengah mati berharap Mahen tidak dapat menangkap maksud ucapan Rossa sebenarnya.

Mahen sendiri hanya mengangguk seraya tersenyum kecil.

"Kalau begitu Ibu masuk dulu, ya?"

Rossa masuk ke dalam rumah. Sengaja meninggalkan Mahen dan Sabrina berdua saja di teras. Memberi ruang untuk mereka berbicara.

Ngegebet Mantan (Lagi!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang