Derit pintu yang dibuka perlahan dibarengi suara bariton yang begitu Mahen kenal membuatnya terpaksa mengangkat kepala. Memandang datar pada lelaki yang berdiri memamerkan deretan gigi tanpa perasaan bersalah karena sudah mengganggu.
"Ngapain lo?" tanya Mahen. Tanpa basa-basi seperti biasa.
"Udah mau makan siang, nih. Lo belum lapar?" Dimas mengelus perutnya dengan tampang memelas.
"Kalau mau makan ya sana. Kerjaan gue belum kelar."
Mahen kembali menunduk. Mengetik kode pemrograman di komputer yang berhubungan dengan pekerjaannya. Menyelesaikan apa yang sedari tadi hanya dilamunkan tanpa disentuh dan baru teringat ketika matahari berada di puncak tertinggi.
"Lah? Fitur baru? Tumben belum kelar? Mikir apa aja lo?" tanya Dimas kaget. Mendekat ke meja Mahen karena begitu penasaran.
Sepanjang pengetahuannya, pengaturan waktu yang dimiliki Mahen sungguh mencengangkan. Hampir tidak ada kata belum selesai atau masih dikerjakan yang bisa keluar dari mulutnya seperti sekarang.
"Berisik! Mending lo keluar dulu. Sebentar lagi gue susul."
Dimas hanya bisa menggeleng takjub. Tak urung menuruti perintah Mahen untuk keluar terlebih dahulu daripada kepala atau anggota badannya yang lain terkena sambitan.
Tepat sepuluh menit kemudian, Mahen merenggangkan tubuh. Satu pekerjaannya sudah selesai dan siap menyusul Dimas menuju kantin.
Dengan langkah lebar sepanjang lobi, Mahen bukan tidak sadar jika dirinya menjadi pusat perhatian terutama bagi para wanita. Hal yang biasa dan hampir selalu terjadi walaupun lelaki tersebut tidak melakukan sesuatu yang menarik. Hanya berjalan dengan tatapan lurus dan datar. Nyaris tanpa ekspresi.
"Baru aja istirahat, Mas Mahen?"
Salah satu karyawan wanita memberanikan diri menyapa. Kata 'Mas' yang terdengar asing di telinga, membuat dahi Mahen mengernyit. Belum lagi posisi mereka di kantor yang berbeda divisi dan tidak terlalu mengenal. Namun, Mahen tetap mengangguk sebagai bentuk kesopanan.
Reaksi sesingkat itu saja sudah membuat karyawan yang tadi menyapanya menjerit tertahan. Membuat Mahen semakin tidak mengerti dan memilih untuk meneruskan langkah tanpa memedulikan apa-apa lagi.
Kantin masih ramai dengan orang-orang bersetelan khas kantor. Sebagian menggerombol, sebagian lagi membentuk kelompok-kelompok kecil yang seketika mengingatkan Mahen dengan masa sekolah dulu.
Pemandangan serupa dan hanya tingkat keributan yang menjadi pembeda. Kantin kantor relatif lebih teratur dan tidak terlalu menghasilkan suara bising. Kantin yang memang disediakan oleh perusahaan start up ini, sangatlah bagus. Vending machine berada di setiap sudut lantai. Bahkan, di kantin ada beberapa macam vending machine. Kudapan manis, seperti roti, donat dan aneka mini cake, tersedia gratis untuk para karyawan. Bahkan, mereka bisa mengambilnya tanpa batas.
Tidak membutuhkan waktu lama, sepasang mata Mahen langsung mampu menangkap sosok Dimas megap-megap kepedasan. Duduk sendiri tidak jauh dari pintu dengan sepiring makan siang yang hanya tersisa separuh.
"Gue kira lo bakal lama," sambut Dimas. Diiringi desisan dari bibirnya yang sudah memerah.
"Makan sama apa lo? Tumben sampai begitu," tanya Mahen heran. Melirik ngeri ke arah piring Dimas yang nasinya pun sudah ikut berubah warna.
"Rica ayam sambal kunti. Menu baru. Pedasnya.lebih mirip komenan netijen dari pada cekikikan mbak kunti. Cobain, gih!" balas Dimas.
"Gue enggak mau berakhir mencret-mencret dan enggak fokus kerja," timpal Mahen. Menyindir kelakuan Dimas yang bukan hanya sekali dua kali terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ngegebet Mantan (Lagi!)
ChickLitSabrina (27), wanita dewasa yang ternyata gagal move on dari sang mantan-Mahen (30). Walau kesibukannya sebagai florist menyita perhatiannya, nyatanya bayangan Mahen selalu memenuhi kepalanya. Bahkan ia lebih rajin memantau sosial media Mahen diband...