13. Misi ke-dua Sabrina

60 7 0
                                    

Sabrina mengamati bangunan yang menjulang di depannya lamat-lamat. Lebih tepatnya ke arah pintu  ganda berbahan dasar kaca yang menjeblak terbuka. Tangannya menimang ponsel dengan gelisah. Maju mundur menghubungi seseorang yang ada di dalam dan sedari tadi ditunggunya.

Memantapkan hati agar tidak terus meragu, Sabrina mengangkat ponselnya lantas mengetik beberapa kata nyaris tanpa berpikir.

Udah mau pulang belum? Kebetulan aku lagi di daerah kantor kamu.

Kirim.

Sabrina mendekap ponselnya ke dada. Menggigiti bibir bawah seraya menanti balasan.

Ini adalah misi ke-duanya.

Tidak butuh banyak waktu hingga benda pipih di genggamannya bergetar. Pesannya langsung dibalas.

Udah, kok. Kamu tunggu aja di lobi. Bentar lagi aku ke bawah.

Sabrina mengembuskan napas lega. Melangkah ringan menuju lobi dan memilih untuk duduk di salah satu sofa yang tersedia.

"Ina!"

Sabrina menoleh begitu mendengar seseorang menyerukan namanya. Senyumnya segera mengembang begitu tahu sosok yang ditunggunya sudah datang. Ternyata tidak perlu waktu lama untuk menunggu Mahen turun.

"Mahen. Apa aku mengganggu?" tanya Sabrina. Menyelipkan rambutnya di balik telinga seraya berdiri.

"Enggak sama sekali. Memang udah waktunya pulang, kok," balas Mahen. Mengedikkan bahunya santai.

"Syukurlah."

"Sebelum pulang, kalau kita makan dulu gimana? Kebetulan aku lapar."

"Boleh."

Sabrina segera saja mengiyakan ajakan Mahen. Inilah yang ditunggunya sedari tadi. Satu langkah lebih maju untuk mendapatkan hati sang mantan kembali.

Mahen berjalan terlebih dahulu menuju tempat parkir. Sabrina mengekor di belakang dengan hati berbunga-bunga. Antara gugup dan juga senang, karena Mahen terlihat tidak keberatan dengan kedatangannya ke kantor.

"Mobil kamu udah beres?" tanya Sabrina. Mengerling ke arah kendaraan roda empat yang sudah begitu dikenalnya.

"Udah. Baru diambil tadi. Rusaknya juga enggak terlalu parah, sih," balas Mahen.

Mahen membukakan pintu untuk Sabrina, baru berlari kecil memutar menuju bagian kemudi. Begitu memastikan Sabrina sudah nyaman dengan posisi duduknya, Mahen pun segera tancap gas.

"Kalau boleh tahu, tadi kamu ada urusan apa? Kok bisa di dekat kantor?"
Mahen bertanya untuk memecah keheningan. Mobil yang dikendarainya baru saja berbelok menuju jalan raya.

Tidak siap ditanya seperti itu, juga merutuk kebohongan kecilnya tadi. Sabrina gelagapan. Bola matanya bergerak liar mencari alasan, karena sebenarnya dia tidak sedang ada urusan apa-apa. Berada di kantor Mahen pun murni untuk menemui lelaki itu sendiri.

"Tadi habis nyari bahan buat buket, tapi kayaknya aku kesorean jadinya enggak dapat apa-apa." Satu-satunya alasan yang bisa Sabrina pikirkan. Sedikit payah, tetapi sepertinya cukup karena Mahen tampak mengangguk paham.

Berkendara cukup lama lantaran jalanan yang padat, Mahen menepikan mobil di salah satu rumah makan di daerah Sabang, Jakarta Pusat. Dulu, semasa masih menjadi sepasang kekasih mereka cukup sering mendatangi tempat tersebut.

"Enggak apa-apa, kan makan di sini?" tanya Mahen seraya melepas seatbelt.

Sabrina menggeleng. Jelas tidak merasa keberatan mengingat dengan siapa dia datang. Juga sudah mengurangi ekspektasi mengingat Mahen tidak mungkin mengajaknya ke rumah makan mewah. Bukan karena masalah ekonomi, tetapi memang begitulah Mahen.

Ngegebet Mantan (Lagi!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang