7. Kaktus

75 9 0
                                    

"Wi, buket yang kemarin udah jadi dianter?"

Sabrina menghampiri Tiwi yang kala itu tengah sibuk menata pot-pot kecil di bagian depan. Beberapa buah sudah terjual dan kini meninggalkan ruang kosong. Harus pintar mengatur sedemikian rupa agar tetap terlihat ramai.

"Udah diambil sama yang pesan tadi, Mbak. Kan tadinya mau diantar sama Agus, tapi orangnya keburu ke sini. Udah dibayar lunas juga. Memangnya orang yang pesan enggak bilang sama Mbak?" jawab Tiwi.

Sabrina mengecek ponselnya sekilas. Tidak ada kabar apa-apa. "Lupa bilang mungkin, tapi kalau udah diambil ya bagus yang penting jelas."

"Aman kok, Mbak." Tiwi mengacungkan kedua jempol. Tanda jika tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Terus sekarang si Agusnya ke mana? Kok, enggak kelihatan?" Sabrina menengok ke depan dan belakang. Pegawainya yang satu itu memang tidak terlihat di mana pun.

"Beli paket data sebentar katanya, Mbak. Baru aja keluar."

"Ini bunganya kalau udah mulai kelihatan enggak segar ganti aja. Mungkin nanti sore atau besok datang barang baru."

Sabrina mengambil beberapa helai daun yang gugur dari tangkai. Menyimpannya dalam wadah khusus untuk dimanfaatkan sebagai pupuk. Salah satu tugas Agus selain mengantar pesanan dan membantu jaga toko.

"Siap, Mbak. Ini juga udah lumayan yang kosong. Laku banyak bulan ini."

"Syukurlah, bisa buat gaji kalian. Enggak perlu pusing," celetuk Sabrina setengah bercanda. Memang benar. Kalau tokonya laku, pendapatan banyak, tentu bukan hanya dirinya yang senang. Pegawainya pun demikian.

"Betul, Mbak. Saya ke dalam bentar ya, mau taruh ini." Tiwi menunjukkan semprotan dan juga lap yang tadi digunakan lalu berlalu ke dalam.

Hanya tersisa Sabrina di bagian depan. Gadis itu memilih duduk di kursi dekat jendela dan mengamati aktivitas di luar melalui kaca jendela. Lebih banyak orang berlalu lalang juga kendaraan berseliweran. Barulah Sabrina ingat, ini sudah waktunya makan siang. Wajar jika jalanan menjadi lebih ramai dari biasa.

Sabrina kembali galau seperti yang sudah-sudah. Kesendirian semakin membuat otaknya memikirkan hal-hal yang mengandung kesedihan.

Getaran dari ponsel yang tersimpan di dalam saku celana mengejutkan Sabrina. Secepat kilat mengambil benda pipih tersebut dengan harapan mendapat berita gembira berupa pesan dari Mahen.

Senyum yang belum sempat mengembang sempurna kembali pupus. Ternyata notifikasi yang masuk adalah pesan pemberitahuan kupon belanja dari salah satu aplikasi online. Hanya potongan lima ratus perak pula.  Sungguh tidak penting.

Suara pintu toko yang dibuka dari luar mengalihkan perhatian Sabrina. Gadis itu segera mengubah mimik wajahnya menjadi lebih ceria.

"Selamat datang di The Bloom Room," sapa Sabrina. Otomatis seperti itu setiap kali ada yang datang.

Sabrina termangu nyaris lupa cara bernapas begitu melihat siapa yang berdiri di balik pintu. Lelaki pemilik separuh hatinya tersenyum lembut hingga ujung matanya ikut menyipit. Senyum yang tidak pernah gagal membuat Sabrina jatuh hati. Baru saja ia memikirkan lelaki itu. Semesta mendatangkannya langsung ke hadapannya.

Mahen. Dia datang lagi. Apa sekarang Sabrina sudah boleh memeluknya?

"Mahen, kok aku ditinggal? Kan, udah dibilang tungguin."

Menyesal. Sabrina sungguh menyesal sudah menoleh begitu mendengar suara lain yang muncul dari balik punggung Mahen. Gadis yang tidak pernah Sabrina harapkan kedatangannya kini muncul. Gadis yang beberapa waktu lalu mengunggah fotonya berdua dengan Mahen tanpa tahu diri.

Ngegebet Mantan (Lagi!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang