Sabrina menahan diri untuk tidak menangis tersedu-sedu meskipun air matanya sudah menggenang di pelupuk. Terus menunduk dan meremas jarinya semakin kencang hingga memutih.
Lani memegang pundak Sabrina dan memaksa sang sahabat untuk melihat ke arahnya.
"Lo beneran putus sama Mahen? Boleh gue tahu kenapa?" Lani menurunkan intonasi bicaranya. Bertanya sepelan mungkin agar Sabrina tidak menjadi histeris.
Seingat Lani, terakhir kali bertemu Sabrina dan Mahen mereka masih baik-baik saja. Bahkan sempat mengantar ke bandara sebelum berangkat ke Jogja. Tentu mengejutkan jika setelah sekian lama justru kabar putus yang terdengar.
Terlebih selama ini Mahen dan Sabrina terlihat bucin meskipun karakter kedua orang tersebut bertolak belakang. Mahen tahu bagaimana memperlakukan Sabrina begitu pula sebaliknya.
"Ya begitulah. Namanya hubungan pasti ada awal dan akhirnya, kan?" Sabrina bertanya retoris. Sungguh. Dia tidak ingin terlihat menyedihkan sekarang. Menceritakan kandasnya hubungan dengan Mahen juga bukan sesuatu yang mudah.
"Sayang banget sih, Na? Kalian udah dua tahun lebih, kan? Durasi pacaran terlama yang pernah lo lakuin."
"Ya mau bagaimana lagi, kan?"
Embusan napas kasar keluar dari hidung Sabrina. Seolah tengah ikut mengeluarkan beban berat yang sedari tadi menghimpit.
"Gue beneran kaget, sih. Ini lo yang mutusin? Terus reaksi Mahen gimana? Dia enggak ada usaha memperbaiki atau apa?" Lani meraih kantong keripik yang tadi dibawakan Tiwi. Memakannya tiga sekaligus.
"Iyalah gue yang mutusin. Mana mungkin seorang Sabrina diputusin. Kaya yang lo tahu aja Mahen orangnya gimana. Reaksinya juga begitu."
Lani manggut-manggut tanda mengerti. Seperti yang sudah dibilang, Mahen memang tidak banyak tingkah. Namun, Lani juga menyayangkan sikap Mahen yang tidak mengambil langkah apa-apa.
"Dengan sikap Mahen yang begitu, menurut lo Mahen punya cewek lain enggak?" Sabrina bertanya ragu. Dirinya tidak siap seandainya tahu Mahen memang memiliki gadis lain. Apalagi jika gadis itu adalah Sasa, si micin pengganggu yang menyebalkan.
"Di belakang lo gitu maksudnya? Kemungkinan kecil, sih. Menurut gue, Mahen bukan tipe laki-laki yang suka menclok kesana kemari ngedeketin cewek. Gue bahkan masih ingat gimana perjuangan dia buat dapetin lo dulu. Mahen kelihatan tulus banget sama lo. Seandainya dulu kalian enggak jadian, mungkin gue bakal ikut antre bareng gadis-gadis lain buat dapetin Mahen."
Lani tertawa mendapati tampang keruh Sabrina. Tidak sepenuhnya serius dengan ucapan yang terakhir. Berniat menggoda saja dan siapa sangka reaksi Sabrina justru sesuai dugaan.
"Lo dapat dari mana kesimpulan begitu?" lanjut Lani. Setelah tawanya mereda dan meminum teh untuk melegakan tenggorokan yang mendadak seret.
"Entahlah. Gue sering nengok sosial media Mahen, tapi enggak ada satu pun yang mencurigakan. Postingannya bahkan enggak nambah dari beberapa hari lalu."
"Bagus dong kalau begitu. Kenapa lo musti curiga kalau memang enggak ada yang mencurigakan?"
Sabrina menimbang dalam hati. Apakah perlu menceritakan masalah Sasa atau tidak. Namun, Sabrina takut disalahkan karena dia sendiri belum bisa memastikan posisi Sasa.
"Ada yang belum lo ceritain ke gue, ya?"
Pertanyaan Lani tepat pada sasaran. Entah mengapa gadis itu selalu dapat menebak apa yang terjadi pada sahabatnya.
"Kalau gue cerita lo bakal nyalahin gue enggak?" tanya Sabrina takut-takut.
"Ya tergantung. Gue kan enggak tahu apa yang mau lo ceritain. Baik atau buruk."
"Enggak jadilah kalau begitu."
Sabrina mengempaskan punggungnya ke sandaran sofa dan memejamkan mata. Untuk sesaat hanya terdengar suara kunyahan keripik dari Lani.
"Setidaknya kalau lo cerita walaupun mungkin gue bakal marah, gue juga bisa kasih solusi," tutur Lani. Nada bicaranya dibuat menenangkan agar Sabrina juga merasa nyaman.
"Lo tahu si micin, kan?"
Pada akhirnya, Sabrina memberanikan diri bercerita juga perihal Sasa. Kalimat demi kalimat meluncur mulus dari bibirnya. Menceritakan bagaimana dirinya yang bertemu Sasa di rumah Mahen. Juga tentang Mahen yang tidak pernah berbicara apa-apa seolah Sabrina hanyalah orang asing.
Lani mendengarkan semuanya dengan seksama. Tanpa menyela. Tanpa menghakimi. Dibiarkan saja sang sahabat mengungkapkan apa yang dirasa hingga akhirnya berhasil menangkap sebuah kesimpulan.
Sabrina menyesal atas keputusannya yang dilakukan tanpa pikir panjang. Hanya dilandasi emosi padahal menurut Lani semuanya masih bisa dibicarakan baik-baik tanpa harus berujung perpisahan. Dan semuanya bertambah buruk ketika Mahen justru tidak menolak dan terkesan pasrah. Padahal Lani yakin, jika Mahen sedikit saja lebih berani untuk berkata tidak maka kata putus itu tidak akan menjadi kenyataan.
Memang pasangan yang merepotkan.
Sabrina baru saja menyelesaikan ceritanya saat pintu ruangan kembali terbuka. Pelakunya masih sama yaitu Tiwi.
"Permisi, Mbak. Itu, saya mau tanya tentang buket yang mau dikirim ke kantor notaris."
"Oh ya. Udah siap?" Sabrina melirik jam yang terpatri di dinding. Memang sudah waktunya.
"Udah, Mbak. Mau diantar Agus sekarang. Cuma kata dia Mbak Sabrina belum kasih tahu alamatnya di mana. Di catatan juga belum ada."
Sabrina menepuk keningnya sendiri. Galau perkara Mahen membuatnya tidak fokus.
Sabrina mengotak-atik ponselnya dan mengirim alamat tujuan pengiriman ke nomor Agus.
"Iya, maaf ya. Orangnya juga baru ngirim alamatnya tadi, aku mau kasih tahu kalian lupa. Sekarang aku udah share alamatnya ke Agus. Kamu bisa balik kerja."
"Iya, Mbak. Makasih."
"Duh, keseringan mikirin Mahen jadi begini gue. Untung punya karyawan yang bisa diandalkan," keluh Sabrina.
"Putus dari Mahen enggak enak, kan?" Lani berjuang keras menahan tawa mendengar gerutuan Sabrina barusan.
"Apa sih, Lan?" balas Sabrina sengit.
"Lo mau dengar saran dari gue enggak?"
Lani mengubah posisi duduknya menghadap Sabrina. Sedangkan yang ditanya masih diam saja dan hanya membalas Lani datar. Antara tertarik dan tidak.
"Mau enggak?" Lani kembali mendesak.
"Saran apa?"
Lani menjentikkan jari tepat di hadapan Sabrina.
"Balikan sama Mahen." Sepasang alis Lani naik turun menggoda.
"Gila lo!" pekik Sabrina. Menggelengkan kepala tidak percaya dengan saran yang sahabatnya berikan. "Itu bukan saran, tapi bikin gue malu!"
"Ya kenapa enggak? Jujur sama gue, lo masih sayang kan sama Mahen?"
"Sayang sih sayang, tapi baru dua hari gue mutusin dia, Lan."
"Ya mumpung baru dua hari. Belum seminggu apalagi berbulan-bulan. Kenapa, sih? Gengsi?"
"Gue menolak." Sabrina menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Lo pikirin dulu. Gue yakin Mahen pasti mau balikan sama lo." Lani masih setia mengompori. Sungguh sangat disayangkan bila hubungan sahabatnya harus kandas tanpa alasan yang jelas. Permasalahan dengan Sasa pun masih abu-abu.
"Enggak, Lan. Mau ditaruh mana muka gue?" Sabrina mengusap wajah frustrasi.
"Percaya sama gue."
Sabrina menggeleng tegas. Gengsinya mampu menutup sebagian besar perasaan suka pada Mahen. Jika seandainya mereka kembali menjadi sepasang kekasih pun, Sabrina maunya Mahen yang berbicara terlebih dahulu. Bukan sebaliknya.
"Emang dasar batu."
Lani tidak bisa memaksa. Ini hidup Sabrina, dia yang memegang kendali penuh. Hanya satu harapannya agar sang sahabat tidak terus larut dalam kekecewaan dan dapat segera menemukan jalan keluar.
🌹🌹🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
Ngegebet Mantan (Lagi!)
ChickLitSabrina (27), wanita dewasa yang ternyata gagal move on dari sang mantan-Mahen (30). Walau kesibukannya sebagai florist menyita perhatiannya, nyatanya bayangan Mahen selalu memenuhi kepalanya. Bahkan ia lebih rajin memantau sosial media Mahen diband...