"Aku pulang."
Sabrina masuk ke dalam rumah dengan tampang lesu. Lelah setelah seharian mengurus toko yang hampir setiap hari selalu ramai. Baik dengan pesanan maupun pelanggan yang datang langsung.
"Baru pulang, Bri? Makan dulu."
Rossa, ibu Sabrina menyahut dari ruang tengah. Wanita yang masih cantik meskipun sudah tidak lagi muda itu menghampiri sang putri.
"Iya, Bu. Aku udah makan, kok tadi."
Sabrina berbohong. Takut jika satu meja bersama ibunya, beliau akan bertanya lagi perihal Mahen yang belum tentu bisa dijawab. Sehingga yang bisa Sabrina lakukan saat ini hanya menghindar entah untuk waktu berapa lama.
"Bener udah makan?" tanya Ibu memastikan.
"Iya, Ibu. Aku ke kamar dulu, ya? Capek banget."
"Ya udah sana istirahat. Jangan tidur terlalu lama."
Sabrina mengangguk seraya memeluk ibunya sekilas. Lantas berlalu begitu saja menuju kamar.
Sabrina mengempaskan diri pada ranjang yang empuk. Melepas tas dan merogoh ke dalam. Mencari ponsel yang belum dia buka kembali setelah keluar dari toko. Kondisi ponselnya masih sama. Sepi tanpa pemberitahuan. Sabrina menghela napas dan berusaha menelan bulat-bulat rasa kecewanya.
Memang apa lagi yang mau diharapkan?
Sabrina terdiam seolah tengah mengingat sesuatu. Terpikirkan kembali oleh perkataan Lani beberapa jam lalu mengenai kemungkinan dirinya kembali berpacaran dengan Mahen.
Apa Sabrina memiliki nyali untuk meminta hal seperti itu kepada Mahen secara langsung?
"Gue udah gila kalau nurutin saran Lani." Sabrina segera menepis apa pun yang sempat mampir di otaknya.
Butuh pengalihan dari pemikiran tentang mantan pacar yang saat ini entah sedang apa dan berada di mana, Sabrina memilih untuk kembali menggulir sosial media. Mengamati beberapa unggahan yang kebanyakan isinya tidak begitu penting dengan begitu serius.
Sabrina tidak mau tahu tentang salah satu pengikutnya yang baru saja membeli barang baru. Seseorang yang sedang beribadah atau bersedekah. Memamerkan kehidupan mewah yang Sabrina tahu berbanding terbalik dengan kehidupan aslinya di rumah. Sungguh, Sabrina tidak peduli dengan itu semua. Dia hanya butuh apa saja agar perhatiannya teralih.
Namun, jemarinya sungguh nakal dan melanjutkan apa yang sedari tadi hatinya cari. Akun media sosial milik Mahen. Rasanya tidak sabar untuk melihat Mahen, walaupun hanya lewat unggahan media sosialnya.
"Enggak apa-apa. Gue cuma mau tahu kabar Mahen gimana."
Sabrina menyemangati diri sendiri. Menolak segala sorakan yang bergemuruh di otak. Mencela tindakannya yang masih saja mencari tahu tentang Mahen padahal sudah menolak mentah-mentah usulan dari Lani.
Sepasang mata Sabrina memejam selama beberapa saat. Sebagian hatinya meyakini unggahan di akun sosial media Mahen masih belum berubah. Sebagian lagi takut jika tebakannya salah. Bagaimana kalau sekarang Mahen sudah bersama wanita lain yang tidak masalah dia publikasikan?
"Iya juga. Biasanya kalau Mahen unggah sesuatu pasti muncul paling atas."
Sabrina mengembuskan napas lega begitu kekhawatirannya tidak terbukti. Tidak ada unggahan baru apa pun di akun sosial media Mahen. Tidak ada pula sebatas cerita yang secara otomatis hilang setelah 1X24 jam.
Sayangnya, dengan tidak adanya unggahan terbaru di sosial media Mahen, Sabrina juga tidak tahu dengan kabar lelaki itu.
"Apa gue chat aja, ya?"
Sabrina beralih ke aplikasi whatsapp. Kontak Mahen ada di pin paling atas. Pesan terakhir yang dikirim adalah dua hari lalu. Sedangkan waktu terakhir Mahen online adalah lima belas menit lalu. Belum terlalu lama. Mungkin lelaki itu sekarang sedang perjalanan pulang setelah bekerja.
Sabrina menyentuh kolom pesannya dengan Mahen. Membaca ulang pesan-pesan yang tidak pernah dihapusnya walaupun penuh.
Saat itu pula baru Sabrina sadari pesan darinya tidak pernah kurang dari tiga baris. Berbanding terbalik dengan pesan Dari Mahen yang kebanyakan berisi tiga kata. Paling parah hanya tiga huruf. Namun, semua itu mampu membuat Sabrina tersenyum sendiri.
Mahennya yang irit bicara, tetapi tidak pernah kehabisan cara untuk menunjukkan perasaannya.
Setelah membaca pesan-pesan tersebut, tahu-tahu Sabrina sudah mengetik sederet kalimat yang bahkan tidak disadarinya.
'Hai, Mahen. Apa kabar?'
"Astaga! Kapan gue ngetik kalimat ini?"
Sabrina segera menghapus kalimat tersebut sebelum sempat dikirim.
"Eh, tapi enggak apa-apa kali, ya? Kan cuma nanya kabar. Mahen pasti enggak akan keberatan."
Sabrina kembali mengetik kalimat yang sama.
"Tapi kalau ternyata dia merasa terganggu sama chat yang gue kirim terus nomor gue diblok gimana?"
Galau. Itulah yang Sabrina rasakan. Maju mundur ingin mengirim pesan pada Mahen.
Padahal, dulu Sabrina bisa bebas mengirim pesan pada Mahen di mana dan kapan saja meskipun lelaki itu sedang sibuk bekerja. Meskipun terkadang harus lebih sabar menunggu balasan yang datangnya bermenit-menit kemudian.
Tetap tidak menemukan nyali untuk mengirim pesan pada Mahen, Sabrina kembali beralih ke media sosial yang lain.
Entah bagaimana awalnya, unggahan dari akun media sosial milik Sasa lewat di beranda Sabrina. Padahal seingatnya, ia tidak pernah mengikuti gadis itu.
Satu hal yang membuatnya lebih terkejut adalah foto yang diunggah Sasa kurang dari satu jam lalu.
Di situ ada Mahen. Mahennya.
Atas dasar apa mereka duduk berdua di restoran dan makan malam bersama. Belum lagi tambahan lilin-lilin yang menyala di meja. Mau membuat Sabrina cemburu atau bagaimana?
Sayangnya, Sabrina memang benar cemburu. Gestur Mahen yang hanya duduk seraya tersenyum tipis membuat dada Sabrina bergemuruh. Meskipun Mahen juga tidak terlihat menanggapi tingkah Sasa yang menempel lekat seperti ulat, bukan berarti Sabrina tidak merasa kecewa.
"Kamu nyakitin aku lagi, Mahen? Ini yang kamu bilang enggak ada apa-apa?" tanya Sabrina lirih.
Sabrina menutup wajahnya dengan bantal. Berteriak dan menangis sejadi-jadinya.
Dia patah hati. Sungguh.
Tidak pernah Sabrina merasa sesakit ini. Rasanya tidak berbeda jauh dari dulu saat ayahandanya mengembuskan napas untuk terakhir kali.
Pedih dan menyakitkan.
Sabrina menangis hingga sesegukan. Tidak memedulikan bantalnya yang mulai kuyup oleh air mata dan juga ingus. Sabrina hanya ingin perasaannya lega.
Masih dengan terisak, Sabrina beringsut menuju nakas yang ada di samping kasur. Ada foto dirinya dan Mahen beberapa hari setelah resmi menjadi sepasang kekasih. Dipandanginya foto tersebut lama. Sesekali mengusap air mata yang membuat gambar mereka terlihat buram.
"Mahen, aku nyesel putus sama kamu. Aku kangen. Kalau waktu itu aku enggak impulsif, sekarang kamu pasti masih sama aku, kan? Si micin itu enggak mungkin berani nempel sama kamu."
Sabrina mengatur napasnya yang mulai terasa sesak akibat terlalu lama menangis. Memeluk foto dirinya dan Mahen seolah tidak mau benda tersebut lepas.
"Mahen, kalau aku nurut sama saran Lani, apa kamu mau balik sama aku? Aku enggak butuh penjelasan tentang kamu dan si micin itu. Aku cuma perlu tahu kalau kamu sayang aku. Setelah itu cukup. Apa bisa, Mahen?"
Pertanyaan yang tentu saja tidak akan dijawab. Karena Sabrina hanya berani mengucapkannya di depan foto, bukan sosok Mahen secara langsung.
Mahen.
Sabrina terus memanggil pilu.
🌹🌹🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
Ngegebet Mantan (Lagi!)
ChickLitSabrina (27), wanita dewasa yang ternyata gagal move on dari sang mantan-Mahen (30). Walau kesibukannya sebagai florist menyita perhatiannya, nyatanya bayangan Mahen selalu memenuhi kepalanya. Bahkan ia lebih rajin memantau sosial media Mahen diband...