16. (Kali ini) Saran Ibu

57 9 1
                                    

Sabrina memaksa dirinya bangkit dari ranjangnya yang terlalu empuk rasanya hari ini. Berjalan ke arah nakas kemudian mengambil ponsel yang baru saja berdenting.
Senyumnya seketika mengembang. Sebuah pesan masuk sebagai obat penyemangatnya.

Mahen.

Selamat pagi, Ina. Maaf baru sempat menghubungi. Aku baru saja sampai di kantor setelah segala kehectican pagi tadi.

Sabrina berjalan keluar kamar masih dengan membawa ponsel. Tersenyum sendiri persis seperti remaja yang baru merasa kasmaran. Sungguh, rasanya lebih menegangkan daripada saat mereka masih berpacaran. Hingga sulit dideskripsikan dengan kata-kata.

Pagi, Mahen. Semoga harimu menyenangkan. Aku juga baru selesai bersiap-siap. Setelah ini mau sarapan dan berangkat ke toko.

Balasan datang lebih cepat dari yang Sabrina perkirakan. Disangkanya, Mahen sudah mulai sibuk dengan pekerjaan yang seabrek.

Kamu juga, Ina. Nanti aku hubungi lagi. Jangan ngebut dan selalu perhatikan rambu-rambu.

Sabrina mengirim emoticon tanda hormat. Siap mengikuti perintah dari Mahen dan menyetir dengan hati-hati.

Masih membawa ponsel di genggaman, Sabrina menuruni anak tangga menuju ruang makan. Perutnya sudah berontak minta diisi sebelum beraktivitas.

Sayangnya, Rossa tidak terlihat ada di dapur. Pun dengan ruangan-ruangan yang sebelumnya dilewati. Bukan hal yang mengejutkan sebenarnya mengingat ibunya juga memiliki segudang aktivitas yang biasa dilakukan di rumah.

Sabrina menarik salah satu kursi di meja makan. Mengambil dua helai roti lantas melapisinya dengan selai cokelat hazelnut. Salah satu menu sarapan simple favoritnya.

Sabrina menggigit rotinya dengan hati-hati. Sedangkan sebelah tangannya menggulir layar yang menampilkan laman akun sosial media Mahen.

Ya, meskipun kini hubungan mereka sudah mengalami kemajuan, bukan berarti Sabrina berhenti memantau. Antisipasi dari kejadian dengan Sasa dahulu. Ketika si gadis micin itu dengan lancang mengunggah foto berdua dengan Mahen beserta caption menggelikan seolah mereka adalah sepasang kekasih. Sabrina jelas tidak ingin kecolongan dua kali.

Suara langkah kaki membuat perhatian Sabrina teralihkan sesaat. Rossa masuk dari pintu samping dengan membawa keranjang belanja.

"Anak Ibu sudah cantik aja," sapa Rossa. Memindai penampilan sang putri dari atas sampai bawah. Seakan Sabrina masih bocah di bawah umur.

Saat itu, Sabrina mengenakan kaus dilapisi blazer cream juga celana jeans. Rambutnya dibiarkan jatuh tergerai begitu saja tanpa diberikan aksesoris berarti.

"Ibu dari mana?"

"Belanja di tukang sayur depan." Rossa menunjuk keranjang belanjanya yang terisi penuh.

Setelah menyimpan keranjangnya di meja dapur,  Rossa menarik kursi di samping Sabrina. Duduk menatap sang putri lamat-lamat. Sabrina tentu saja risi diperhatikan sedemikian rupa meskipun oleh ibu sendiri.

"Kenapa sih, Bu?" Sabrina menggosok pelan bibirnya. Mengira ada noda cokelat yang tertinggal dan menjadi pusat perhatian Rossa.

"Udah ada kemajuan sama Mahen?"

Sabrina memutar bola matanya malas. Bukannya kapan lalu mereka sempat membahas ini? Kenapa pula Rossa harus membahasnya lagi sekarang.

"Apaan sih, Bu?" Sabrina menjawab ogah-ogahan. Bukan apa-apa, dia hanya merasa jengah karena Rossa seperti ngebet sekali menjadikan Mahen sebagai menantu.

Meskipun Sabrina juga berharap demikian, bukan berarti dia akan berlaku secara terang-terangan.

"Loh? Kamu belum ngajakin Mahen balikan lagi?"

Ngegebet Mantan (Lagi!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang