°
Four Leaf Clover
and HeartBab O9:
Disha Tidak Pernah
Mengerti |°
Disha masih sama seperti minggu kemarin, galaknya, hangatnya, gadis itu sama sekali tidak membahas pertengkaran mereka yang entah karena apa itu. Devin sendiri menganggapnya sudah selesai, tapi ketika ia tahu itu hanya selesai versi Devin. Selebihnya masih banyak yang mengganjal di hati Disha, jadi barangkali gadis itu menjauh karena itu.
Kalau soal masuk kamarnya waktu itu, masa sih Disha masih tersinggung? Maksudnya Devin tahu Disha bukan orang yang menyimpan masalah berlarut-larut, jadi seharusnya itu sudah selesai saat sebelum masuk waktu.
Eh, sebentar.. hari itu kan Devin melihat mobil om Rian di lampu merah arah sekolah. Kalau tujuannya ke sekolah berarti om Rian mengantar Disha. Jangan-jangan Disha melihatnya membonceng Amerta waktu itu. Tubuhnya langsung tercekat.
Devin berhenti mengunyah. Membuat tangan Disha yang mau menyuapkan satu sendok bubur terakhir itu terhenti di udara. "Ayo kunyah."
"Bwentar." Jawab Devin dengan mulut penuh. Di sela mengunyahnya Devin kembali menatap Disha, mata mereka bertemu dan seperti biasa, jantungnya seolah seperti habis lari dari ujung ke ujung lapangan saat futsal.
Dahi Disha mengerut, tangannya terulur kembali untuk menyuapkan bubur terakhir. Sikapnya tenang, seolah dia tidak merasakan apa yang baru saja Devin rasakan. "Maaf ya.."
Laki-laki itu mendongak. Tubuhnya baru saja pulih dari lari-larian keliling lapangan futsal, di kejutkan dengan Disha yang tiba-tiba meminta maaf. "Gara-gara gue lo jadi sakit gini.."
"Kok gitu sih, Ca? Gue kena bola kali, emangnya lo yang nyuruh Gamal nendang bola ke gue?"
"Bukaaann, lo tuh sakit aja ngeselin ya."
"Loh,"
"Kalo aja lo ngga donorin hati—" Devin menaruh telunjuk nya di depan bibir Disha, mengisyaratkan untuk berhenti membahas itu. Selalu Devin lakukan saat Disha mulai tidak nyaman dengan perasaan bersalahnya. "Ini bukan salah lo." Sejujurnya, tidak pernah terlintas sedikitpun rasa menyesal yang Devin rasakan setelah mendonorkan sebagian hatinya untuk Disha.
Kalau Devin marah saat mual itu, hanya karena ia tidak ingin ada yang tahu kondisinya yang.. kemungkinan semakin memburuk. Devin juga pernah bilang kan? Bahkan nyawa pun Devin mau mengorbankan itu kalau untuk Disha.
Disha seorang.
Entah atas dasar apa Devin melakukannya, sahabat? Kemanusiaan? Atau suka? Cinta?
Devin memang cinta Disha. Ia mengakui itu. Meskipun awalnya terlihat seperti cinta monyet karena Devin menyukai Disha saat gadis itu terbaring lemah di ruang operasi. Tapi pernah dengar nggak? Katanya menyukai lawan jenis lebih dari dua bulan bukan lagi suka, katanya sudah cinta.
Sejak dua bulan berlalu pada 2018 itu, Devin mulai menghitung berapa bulan waktu berlalu, berapa bulan Devin jatuh pada Disha, pada sosoknya yang tetap tegar menghadapi penyakit. Sampai akhirnya ada titik dimana Devin berhenti menghitung berapa kuadrat rasa sukanya sekarang, atau cinta ya?
Makanya Devin makin senang melihat Disha yang sehat. Devin tidak suka, benar-benar tidak suka melihat Disha terbaring di rumah sakit seperti dulu. Devin lebih rela ia yang berkorban dan Disha yang berada di dekatnya.
"Gue mau apel." Ujar Devin. Maksudnya ia ingin melupakannya pembahasan soal hati, ganti topik lah, Devin lelah itu terus, kalau salah berbicara nanti malah menjadi beban untuk Disha. Si gadis langsung sigap mengambil apel di atas mangkuk buah.
"Ca, kalo gue mati lo harus mandiri buat cari Four Leaf Clover sendirian ya? Karena ngga ada yang bakal bantuin lo nyari rumput juga sih." Devin menggosokkan bagian apel di pakaian rumah sakitnya sebelum mengigit dengan santai. "Jawaban lo kayak mau mati. Lo gaboleh mati, nanti gue bakal ngerasa bersalah seumur hidup.
"Dan lo belum jelasin soal Amerta. Gitu ya.. nggak cerita lo lagi deket sama cewek lain."
Lain..
Kata asing yang baru kali ini mendengarnya Devin ikut sakit. Apa Disha juga sama tidak sukanya ketika Devin melihat Disha bersama Lingga?
🍀
"Halo, Disha, Devin sama kamu nggak, nak? Anaknya kok belum pulang ya? Di telfon nggak aktif."
Mata Disha membelalak mendengar suara Tante Rena. Gadis itu melirik Devin yang sudah mengisyaratkan untuk tidak memberitahu mamanya.
"Eung.."
"Devin.. devin, itu.. lagi di rumah Hikmal." Sebenarnya Disha tidak mau berbohong, tapi entah kenapa ia nurut-nurut saja saat Devin menyuruhnya.
"Oh, yaudah Tante khawatir tiba-tiba ngilang. Bilangin jangan lupa minum obat, ya?"
"Siap, Tan." Telepon di matikan oleh Tante Rena setelah wanita itu mengucap salam. Keduanya bernafas lega.
Disha menaruh ponselnya, "gue ngerasa bersalah ngikut bohong." Katanya. Devin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil meringis. "Maaf deh, nanti gue beliin es krim strawberry." Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya pada bantal yang di tumpuk. "Gue nggak mau bikin mereka khawatir."
"Kalo nggak mau bikin khawatir ya sembuh dong."
Mata mereka bertemu lagi ketika keheningan menyapu ruangan itu. Entah sejak kapan suasana juga menjadi canggung. "Jadi gimana Lingga?"
"... Gimana? Maksud lo?"
"Kelihatan banget kok dia deketin lo." Disha menyipitkan matanya ke arah Devin. "Sotoy deh."
"Eh, gue ini lakik ya, sesama cowok gue bisa tau gelagat cowok lain waktu dia tertarik sama satu cewek." Disha tersenyum miring, menyandarkan tubuhnya pada kursi. "Oya?"
"Oh jadi lo nggak percaya?"
"Percaya. Kalo Amerta gimana?"
"Kenapa bawa-bawa Merta?" Devin mengernyit. "Kayaknya Amerta juga tertarik sama lo, lo juga kan?"
"Jangan—"
"Vin," Disha menyela dengan cepat. "Berapa tahun kita hidup bareng? Bukan kemarin, satu bulan, dua bulan. Kita hidup hampir dua dekade, gue ngerti perasaan lo--"
"Lo nggak ngerti, Ca." Disha memang tidak mengerti. "Lo nggak ngerti apa-apa." Disha tidak mengerti apa-apa mengenai perasaan Devin selama ini.
"Kalo gitu kasih tau biar gue ngerti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Four Leaf Clover and Heart
FanfictionAngin berhembus di suatu sore di bawah pohon Bungur belakang rumah Disha, menerbangkan beberapa helai rambutnya. Juga bunga-bunga pohon Bungur yang tengah bermekaran. Oktober.. Oktober.. Oktober.. Sore itu terjadi saat bulan Oktober. "Katanya kamu...