Prolog

156 4 1
                                    

"Nja, pemberkasan kamu mau masuk SMP udah lengkap?" tanya Logan sambil duduk di samping Lentera. Kedua remaja itu kini tengah duduk di sebuah gazebo, tempat andalan mereka ketika berkumpul.

Gadis dengan nama Lentera itu mengangguk. "Udah aman, kok. Tapi ...."

"Tapi kenapa?"

"Kok, aku jadi takut masuk SMP Leorasi, ya? Kakak kelasnya baik nggak? Atau ada yang suka bully? Kalau nanti ada yang bully aku gimana? Secara—"

"Ya tinggal bully balik aja, goblok!" sahut Logan tanpa beban.

Tak!

Sebuah jitakan mendarat di dahi Logan. "Itu mulut pengen deh aku kuncir! Lancar banget, sih, kalau ngaco! Aku tuh serius! Kamu tahu 'kan, aku nggak ada temen di sekolah. Nanti kalau di SMP aku di apa-apain gimana?" tanya Lentera sedikit ketakutan.

"Kamu bilang nggak punya temen? Terus aku kamu anggap apa?"

"Setan!"

"Eh, mulut!"

"Kamu yang ngajarin!"

"Gini deh, kalau kamu masih ragu ataupun takut, nanti dengerin pengalaman dari 4L. Kita berempat 'kan sekolah di tempat yang sama, kamu bisa tanya sama mereka gimana sekolah di situ. Bentar lagi mereka dateng, tunggu aja. Nggak usah protes!" saran Logan sambil tubuhnya bersandar di dinding gazebo, lalu tangan kanannya ia gunakan untuk berkipas karena cuaca saat ini begitu panas.

"Iya-iya. Bawel!"

"Dar!" Lais datang. Tiba-tiba menepuk bahu keduanya dari belakang, berharap mereka terkejut, tetapi sama sekali tak berhasil.

Logan hanya menoleh dengan alis terangkat, kamudian memegangi dada sambil mencondongkan tubuh ke belakang, membuat poni belah tengahnya bergerak. "Aduh kaget," serunya dramatis.

Lais mencebik. Melangkah ke bangku lain di seberang mereka. Saat duduk, keningnya langsung mengerut kala mendapati wajah Lentera yang tampak sayu. "Kenapa, Jaja?"

"Galau mau jadi anak SMP," sahut Logan. Setelah kembali menegakkan posisi badan, kini tangannya terlipat di dada. "Coba tenangin, Sis!"

"Astaghfirullah mulut!" Lais mendengkus. Mata sipitnya dipelototkan. Sebal dengan panggilan Logan yang terasa membelokkan dirinya. Ingin rasanya mencerocos lebih banyak pada si mata duitan itu agar memanggil namanya dengan baik dan benar. Namun, untuk sekarang Lais memilih urung, berdeham dan memfokuskan pandangan pada Lentera. "Apa yang kamu takutkan?"

Lentera mendongak, mempertemukan sorot mata dengan Lais, lantas menghela napas panjang. "Semuanya ... aku khawatir tentang banyak hal. Jadi anak SMP pasti nggak gampang, 'kan? Gimana kalau aku nggak bisa mengatasi masalah-masalah yang muncul?"

"Ya, jadi anak SMP memang nggak mudah." Lais tersenyum. "Tapi nggak semenyeramkan apa yang kamu khawatirkan. Meski sulit, bukan nggak mungkin buat kamu menghadapinya. Yang penting coba jalani dulu."

"Kakak sendiri pernah mengalami hal sulit apa selama setahun kemarin?" Lentera menyangga dagu dengan kedua tangan. Bersiap mendengarkan.

Lais mengusap rambutnya yang tersisir rapi ke arah kanan. Gerogi. "Aku ... kurang dianggap. Bahkan, diremehkan sama anak-anak organisasi, karena kalian tahulah gimana pembawaanku."

"Kak Ais di-bully?" Bola mata Lentera melebar. "Duh, pasti serem banget, ya? Aku jadi makin takut. Gimana kalau aku juga kena?"

"Nggak!" Lais menggeleng-geleng. "Bukan di-bully. Ini lebih ke kurang dipercaya aja, diragukan kapasitas akunya. Tapi it's okay, dari pertemanan sekelas, lingkungan ekskul, dan sisi lainnya, pengalamannya di SMP nggak sedikit juga yang menyenangkan. Lagipula ada 4L yang selalu jadi support system."

Lentera Senja✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang