---- Selamat Membaca ----
Hari ini adalah pertemuan kedua di ekskul olimpiade matematika. Minggu lalu, pertemuan kami dibuka dengan sesi perkenalan diri serta penjelasan bagaimana prosedur mengikuti kelas ini.
Menurut informasi yang kudapatkan pekan lalu, Bu Rani mengatakan bahwa siswa yang bisa menjadi perwakilan sekolah untuk ikut olimpiade nanti hanya ada tiga orang. Dua orang dari perwakilan kelas delapan dan sisanya kelas tujuh. Itu artinya, peluangku benar-benar sedikit. Dari dua puluh siswa kelas tujuh di kelas ini hanya ada satu yang bisa menjadi kandidat.
Aku berpikir keras, memikirkan bagaimana caranya aku bisa menjadi kandidat tersebut. Hati dan pikiranku berlawanan. Hati mengatakan untuk aku mundur karena ini bukanlah kemampuanku yang sebenarnya. Akan tetapi, pikiranku mengatakan bahwa aku pasti bisa mengalahkan dua puluh orang tersebut. Saat itu aku benar-benar dilema. Namun, ketika pikiranku tengah kalut seperti itu, Lian mengajakku berbicara.
"Lentera, kamu nggak apa-apa?" tanyanya saat itu.
Aku menoleh dan menggeleng pelan. "Aku nggak apa-apa, kok."
Ia tersenyum. Tunggu, senyumnya ... mengapa terlihat manis? Kedua matanya yang tampak tegas itu malah membuatku mengakui ketampanannya.
"Kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa bilang sama aku, ya? Nggak usah sungkan. Kita di sini sama-sama belajar. Jangan takut untuk mencoba, semuanya pasti bisa kamu lalui dengan baik," ujarnya seolah menyemangatiku.
Aku tersenyum. Senang sekali mendapat dukungan seperti itu. Aku jadi percaya diri sekarang. "Terima kasih," balasku dengan senyuman.
Ia mengangguk. Sejak saat itu, kami menjadi cukup dekat. Bahkan, kami berdua juga saling memberikan nomor handphone agar bisa berkomunikasi. Aku tak masalah untuk membagikannya. Toh, Lian orangnya baik. Aku juga suka caranya memperlakukan diriku dengan manis. Ia terlihat begitu perhatian. Sampai-sampai ... aku menyukainya.
Minggu kedua ini, Bu Rani memberikan contoh soal olimpiade matematika tahun kemarin. Di antara semua siswa di sini, hanya aku yang kebingungan. Aku benar-benar tak paham dengan soalnya. Sungguh membuat kepalaku pusing. Kulihat teman-temanku sudah mulai menjawabnya dengan tenang, apalagi Kak Lintang. Lelaki tubuh tinggi itu sama sekali tak terusik. Lalu, aku beralih ke samping kananku. Di sana Lian juga sama fokusnya. Dan aku ... masih tetap galau.
"Duh, ini kenapa soalnya susah banget, ya?" gumamku pelan. Aku benar-benar tak tahu, langkah apa yang harus aku ambil untuk bisa menyelesaikan persoalan ini.
Lantas, aku melirik ke arah Lian. Dia pernah bilang kalau aku butuh sesuatu, katakan saja padanya. Akhirnya kuberanikan bibir ini berbicara. "Lian," panggilku pelan.
Ia menoleh. "Iya? Ada apa?"
"Aku ... boleh minta ajarin cara ngerjain soal-soal ini nggak?" ujarku pelan.
"Kamu nggak paham?" tanyanya dengan lembut.
Aku menggeleng pelan. "Nggak. Kamu bisa bantu?" tanyaku sambil setengah memohon.
Ia tersenyum, kemudian mengusap kepalaku dengan pelan. "Nanti, ya, Cantik. Aku kerjain punyaku dulu."
Blus!
Tanpa sadar pipiku langsung memerah karena perlakuannya. Hei, ini benar-benar membuat hatiku berdebar-debar. Sebelumnya, belum ada lelaki yang berani mengusap kepalaku seperti itu, kecuali ... Kak Laksa. Bahkan, Logan yang menjadi teman kecilku saja belum pernah melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Senja✓
Genç KurguKedua orang tuanya hampir saja bercerai karena ekonomi, Lentera sendiri menjadi korban atas perkelahian yang mereka ciptakan. Bahkan, tameng satu-satunya yang ia miliki, berani meninggalkan dirinya dengan penuh luka. Sampai terlintas di benaknya un...