[11] Lentera Jujur

10 0 0
                                    

••• Selamat Membaca •••

"Katakan yang sebenarnya, Nja," ujar Kak Laksa untuk kesekian kalinya.

Kini aku telah dipindahkan ke rumah inap. Menurut informasi yang kudapatkan dari Logan dan yang lainnya, aku koma selama dua hari. Tepatnya setelah kecelakaan itu melanda dan hampir meregangkan nyawaku. Aku mengalami pendarahan, sampai akhirnya aku menerima donor darah dari Kak Laksa. Entah sejak kapan ia ada di sini, sepertinya begitu mendengar kabarku ia langsung meninggalkan Kalimantan.

Dan, yang membuat aku terpojok, Logan menunjukkan sebuah kertas yang kutulis sebelum akhirnya aku pergi dari rumah.

"Ini apa, Nja?! Kamu gila? Atau goblok?!" teriak Logan dengan suara khasnya.

"Logam! Intonasi suara kamu kondisikan! Terajana lagi sakit kamu kok marah-marah sih?" Kak Lele membelaku.

"Ck, aku marah sama dia! Seenggaknya dia cerita sama kita, Ci, apa yang terjadi. Jangan dipendam seperti ini. Kamu pikir kita semua nggak panik, Nja, dengar kabar kamu seperti ini? Kita panik, Nja! Apalagi ketika lihat kamar kamu berceceran darah, sama surat ini. Kita seperti orang gila tahu, nggak?!" balas Logan masih dengan nada seperti tadi.

"Huh. Ya, yang dikatakan Logan emang benar. Kita semua panik sama kamu, Jaja. Kaget ketika banyak hal yang terjadi sama kamu, tapi di antara kita semua nggak ada satu pun yang tahu. Bahkan, Logan yang teman dekatmu sendiri nggak tahu apa-apa," timpal Kak Ais sambil menatapku sedikit kecewa dan juga khawatir.

"Ma-maaf, mungkin sikapku membuat kalian semua khawatir, membuat kalian marah dan kecewa atas apa yang terjadi padaku. Sebenarnya ... semua ini terjadi ketika pengumuman kandidat olimpiade," ujarku.

"Aku tidak terpilih di salah satunya. Jujur, aku kecewa. Padahal, aku sudah berlatih semaksimal mungkin dan belajar khusus sama Kak Lintang, tapi tidak ada hasil. Iya, aku sadar, langkah yang kuambil salah. Karena aku terlalu berambisi melakukan ini tanpa mengukur kapasitas yang ada dalam diriku. Akan tetapi, aku melakukan semua ini bukan tak ada sebab," lanjutku membuat mereka semua penasaran.

"Apa, Nja?" tanya Kak Laksa.

Jika aku boleh jujur, aku rindu dengan lelaki ini. Aku ingin di dekapnya saat ini juga. Aku butuh dia, aku butuh semangatnya. Apalagi mendengar bahwa Kak Laksa mendonorkan darahnya untukku, rasanya aku benar-benar kecewa pada diriku sendiri. Aku menyesal karena telah mengabaikan pesan-pesannya selama ini.

"Nja?" panggilnya sambil menatapku lembut.

Tanpa sadar aku mengeluarkan air mata. Dengan sigap Kak Laksa menghapus air mata itu dan langsung memelukku dengan erat. Lelaki yang kujadikan tempat cerita, yang mengerti semua perasaanku, yang mengerti dengan semua yang terjadi padaku, akhirnya aku bisa memeluknya kembali. Bahkan, aku menangis tersedu-sedu. Aku rindu. Aku tidak bohong. Aku benar-benar butuh dirinya saat ini.

"Kakak, maafin Nja," ujarku sambil menangis. "Nja rindu sama Kakak, Nja terlalu egois untuk mengabaikan semua pesan-pesan Kakak. Nja butuh Kakak!"

"Hei, tenang. Kakak di sini, Nja. Kakak ada untuk kamu sekarang. Jangan nangis, ya, Cantik. Tenangin diri kamu, terus cerita apa yang sebenarnya terjadi. Biar kita semua tahu, jangan kamu pendam sendiri. Okey?" ujar Kak Laksa dengan lembut.

"Nja ikut olimpiade ini karena mau banggakan ayah sama ibu. Nja capek lihat mereka berantem terus, Kak. Bahkan, sebelum Nja pergi, mereka sudah mau cerai. Nja bingung harus gimana lagi. Apalagi, Lian bilang ayah pernah selingkuh dengan ibunya. Hati Nja hancur, Kak!" ungkapku terus terang.

"Selingkuh?" tanya mereka kompak dan kaget.

Aku mengangguk lemah.

"Tunggu, Lian itu siapa?" tanya Kak Laksa bingung.

"Lian itu anak kelas 7 yang juga pintar matematika, satu ekskul sama Nja. Ini anak sempat naksir sama dia, Kak. Kita semua udah bilang nggak setuju sama Lian, eh masih dilanjutin. Terus, gimana ceritanya kamu sama orang sok pintar itu?" tanya Logan menggebu-gebu.

"Setelah pengumuman itu, Nja ditarik sama perempuan. Dia kakak kelas dan ternyata itu kakak perempuannya Lian. Nja ditarik ke belakang kelas dengan tangan dan kaki terikat. Terus, disiram pakai air es. Lian juga mencekik leher Nja sambil bilang kalau dia sebenarnya deketin Nja karena ada misi. Dia cuma mau menghancurkan Nja, dia cuma mau mempermainkan perasaan Nja. Karena sebenarnya dia sudah punya pacar," ungkapku apa adanya.

"Goblok! Aku udah bilang 'kan, Nja? Dia bukan orang baik! Seenaknya dia cekik kamu?! Wah harus kasih perhitungan—"

"Siapa yang cekik Lentera?" Tiba-tiba suara seseorang terdengar.

"K-kak Jalal?" ujarku kaget.

"Siapa?!" tanyanya sekali lagi.

"Lian, anak kelas 7 yang terpilih kandidat olimpiade matematika," ungkap Logan sejujurnya.

"Anj**g!"

BRAK!

Jalal memukul dinding dengan kuat, kemudian ia pergi tanpa pamit. Aku hampir mencegahnya, tetapi Logan melarangku.

"Kamu diam di sini! Lanjutkan cerita tadi!" desak Logan.

Kulihat Kak Lele dan Kak Ais tidak bergeming. Mereka hanya bisa mendengar apa yang akan aku sampaikan sejak awal tadi. Aku tahu, dari sorot mata Kak Lele, dia khawatir luar biasa. Sedangkan Kak Ais, ia tampak takut akan terjadi sesuatu hal ke depannya.

"Setelah itu, Lian bilang kalau ayah sempat selingkuh dengan ibunya yang membuat keadaan keluarganya udah nggak damai lagi. Itu sebabnya ayah di PHK dan tidak memiliki pekerjaan sampai sekarang. Nja, pulang sendiri. Terus hampir mencoba bunuh diri pakai silet, tapi nggak berhasil karena cuma darahnya aja yang mengalir. Nyawanya masih ada. Kemudian, Nja nulis surat dan ke luar dari rumah. Ketika mau nyebrang, Nja nggak tahu kalau ad truk dan akhirnya ketabrak," lanjutku membuat mereka semua terkejut.

"Astagfirullahaladzim, lailahaillah, Terajana. Untung kamu masih dikasih kesempatan untuk hidup. Lain kali jangan seperti ini lagi, ya. Kakak benar-benar khawatir sama kamu," ungkap Kak Lele berhasil membuatku terharu.

"Iya, Jaja. Jangan gitu lagi, ya. Jangan coba berpikir untuk bunuh diri. Nggak baik, Jaja," tambah Kak Ais.

"Iya, Kak. Maaf sudah membuat kalian semua khawatir. Nja minta maaf."

Detik berikutnya, Kak Laksa kembali memelukku dengan sangat erat. Aku tahu betul, ia sedang menahan amarah sekarang. Terlihat jelas dari wajahnya yang memerah. Apalagi ketika mendengar aku dicekik oleh seorang lelaki, Kak Laksa benar-benar murka akan hal itu.

Aku akui, aku memang salah. Aku juga sebenarnya tak ingin melihat semua orang terdekat khawatir. Akan tetapi, inilah yang terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. Mau tak mau aku harus menerima semua konsekuensi yang ada.

"Kak, ayah sama ibu tahu Kalau Nja di sini?"

BRAK!

"Lentera!"

••• Bersambung ••••

Prabumulih, 24 Desember 2023

Lentera Senja✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang